Candra Fajri Ananda Staf Khusus Menteri Keuangan RI
Ekonomi Indonesia terus tumbuh impresif pascapandemi, meski kini masih berada di tengah tekanan inflasi dan ancaman perlambatan ekonomi global. Badan Pusat Statistik (BPS), Jumat (5/8), melaporkan bahwa capaian ekonomi Indonesia pada kuartal II/2022 berhasil tumbuh 5,44% secara tahunan (year on year/yoy).
Realisasi tersebut melanjutkan pertumbuhan positif pada kuartal I/2022 yang sebesar 5,01% yoy. Selain itu, secara kuartalan pun ekonomi Indonesia tumbuh 3,72% (qtq) sehingga secara kumulatif dari Januari–Juni 2022 pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,23% dibandingkan periode yang sama 2021.
Artinya, tren ekonomi Indonesia telah meningkat secara persisten. Capaian positif di semester ini dapat memberikan optimisme yang tinggi bagi kekuatan ekonomi Indonesia di tengah gejolak perekonomian global yang masih menguat.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dipengaruhi sejumlah indikator, global maupun domestik. Di tataran global, pertumbuhan ekonomi kuartal II/2022 dipengaruhi tingginya harga sejumlah komoditas di pasar global, di mana Indonesia mendapatkan keuntungan berupa surplus perdagangan yang tinggi dan peningkatan penerimaan negara.
Neraca perdagangan RI juga mengalami surplus USD15,55 miliar atau naik 148,01% (yoy). Surplus ini kemudian dibelanjakan untuk kebijakan subsidi demi menahan kenaikan harga energi sehingga inflasi terkendali.
Hingga akhir kuartal II/2022, tepatnya Juni, inflasi umum mencapai 4,35%. Meski cukup tinggi dan melebihi proyeksi pemerintah, inflasi inti masih tumbuh moderat, yakni 2,63%.
Di sisi domestik, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2022 dipengaruhi pesatnya peningkatan mobilitas masyarakat yang didorong oleh adanya pelonggaran syarat perjalanan serta momen Hari Raya Idulfitri, terutama oleh kelompok menengah-atas. Selain itu, daya beli kelompok masyarakat bawah juga berhasil terjaga oleh berbagai bantuan sosial yang berhasil digulirkan pemerintah.
Konsumsi dan Ekspor
BPS mencatat konsumsi rumah tangga menjadi sumber tertinggi dari produk domestik bruto (PDB), dengan kontribusi hingga 51,47%, terbesar terhadap total pertumbuhan ekonomi. Sebagai kontributor utama dalam pertumbuhan ekonomi, konsumsi rumah tangga saat ini telah tumbuh sangat impresif: 5,51% (yoy) dengan distribusi 51,47%.
Angka tersebut menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga tumbuh persisten di tengah tekanan inflasi dan ancaman resesi global. Bahkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga saat ini lebih tinggi dibandingkan kuartal I/2022 yang hanya 4,34%. Secara domestik, pelonggaran mobilitas penduduk dan momen Hari Raya Idulfitri telah berhasil mendorong ekspansi konsumsi masyarakat sekaligus menjadi stimulus peningkatan suplai.
Data BPS juga mencatat bahwa Pulau Jawa masih menduduki peringkat tertinggi sebagai penyumbang terbesar dalam struktur perekonomian Indonesia hingga kuartal II/2022.
Setelah konsumsi rumah tangga, sumber pertumbuhan ekonomi tertinggi Indonesia adalahnet exportatau nilai ekspor dikurang nilai impor, yaitu dengan porsi 2,14%. Ekspor barang dan jasa menjadi komponen dengan pertumbuhan tertinggi dalam distribusi dan pertumbuhan PDB menurut pengeluaran karena berhasil melesat hingga 19,74% (yoy). Sebaliknya, impor tercatat tumbuh 12,34% (yoy).
Selain itu, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang menjadi indikator investasi masih cukup mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun ini dengan kontribusinya 0,94%. PMTB tumbuh moderat 3,07% (yoy) pada kuartal II/2022 didorong pertumbuhan barang modal (mesin, kendaraan, bangunan dan konstruksi lainnya) serta peningkatan realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN).
Pemulihan permintaan yang kondusif juga tecermin dari sejumlah sektor, di antaranya industri pengolahan, transportasi, perdagangan besar dan eceran, serta komunikasi. Selain itu, indikator utama pada Juli 2022 juga menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi lebih kuat, tecermin dari indeks PMI manufakturyang dilaporkan berada di level 51,3.
Di sisi lain, di antara berbagai capaian positif sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia, komponen belanja pemerintah terkontraksi 5,24% (yoy) setelah pada kuartal sebelumnya juga tercatat minus 7,74%. Kontraksi konsumsi pemerintah pada kuarta II/2022 kali ini disebabkan penurunan realisasi belanja pegawai serta belanja barang dan jasa APBN. Karena itu, kini belanja pemerintah menjadi satu-satunya sektor dari sisi pengeluaran yang mengalami pertumbuhan negatif.
Dorong Peran Pemerintah Daerah Capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini memang tidak lagi bergantung pada APBN seperti saat awal pandemi. Saat ini pertumbuhan banyak dipengaruhi variabel utama, yaitu dari sisi konsumsi, investasi, dan ekspor yang terpantau masih menunjukkan sinyal positif. Pemerintah melalui Perpres Nomor 98/2022 telah menaikkan alokasi belanja negara dari semula Rp2.714,2 triliun menjadi Rp3.106,4 triliun.
Saat ini pemerintah menjadikan APBN sebagai shock absorber untuk menjaga stabilitas dan proses pemulihan ekonomi nasional sebagai respons atas ketidakpastian global dan geopolitik. Meski demikian, belanja negara masih sangat penting dalam mendorong kelanjutan proses pemulihan di semester II/2022 untuk memastikan tren positif pertumbuhan berlanjut hingga akhir tahun ini.
Guna mempercepat perputaran roda ekonomi, kegiatan pemerintah harus pula diakselerasi dengan tetap menjagagood governanceuntuk merealisasikan belanja barang dan modal.
Ironisnya, data Kementerian Keuangan menunjukkan hingga kini masih banyak dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan. Hingga akhir Juni 2022 dana pemda mengendap di bank mencapai Rp220,9 triliun, tertinggi dalam enam bulan terakhir.
Terkait hal ini, peran pemda sangat diperlukan untuk mendorong konsumsi pemerintah—mengingat peran pemda sebagai bagian integral dari pemerintah pusat yang mempunyai peran strategis dalam mendorong konsumsi masyarakat dan konsumsi pemerintah.
Terdapat sejumlah alasan di balik banyaknya dana pemda mengendap di bank, salah satunya pola belanja yang tidak berubah, yakni baru gencar menggunakan anggaran ketika mendekati akhir tahun. Selain pola belanja penyebab menumpuknya dana pemda di bank adalah karena pemda belum merampungkan kontrak lelang terkait sejumlah proyek.
Padahal, sejatinya pemda mempunyai otonomi dalam mengelola pemerintahannya dan APBD serta mempunyai wilayah dan akses langsung dengan masyarakat. Karena itu, pemda perlu bersinergi dengan pemerintah pusat untuk meningkatkan konsumsi masyarakat melalui optimalisasi realisasi belanja pemerintah.
Dua hal yang dapat dilakukan oleh pemda yaitu berkordinasi untuk memberikan data yang valid dalam rangka pelaksanaan program perlindungan sosial dan mengalokasikan dana APBD untuk menambah program perlindungan sosial. Selain itu, pemda perlu mempercepat realiasi APBD, terutama belanja barang dan modal.
Selain mempercepat dan meningkatkan realisasi anggaran, pemda diharapkan juga mampu meningkatkan nilai tambah pengeluaran dengan membeli produk lokal dan menciptakan lapangan kerja. Penciptaan lapangan kerja dapat dilakukan dengan melaksanakan program padat karya, baik pada proyek pembangunan yang didanai APBD maupun dana desa. Semoga.
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Senin, 08 Agustus 2022 – 18:07 WIB oleh Candra Fajri Ananda dengan judul “Momentum Positif dan Dukungan Daerah