MONITORING dan evaluasi (monev) merupakan dua kegiatan terpadu dalam rangka pengendalian suatu program. Meskipun merupakan satu kesatuan, monev memiliki fokus berbeda satu sama lain.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 39/2006, monitoring merupakan suatu kegiatan mengamati secara saksama suatu keadaan atau kondisi, termasuk perilaku atau kegiatan tertentu yang bertujuan agar semua data masukan atau informasi yang diperoleh dari hasil pengamatan tersebut dapat menjadi landasan dalam mengambil keputusan tindakan selanjutnya yang diperlukan. Kerja monitoring adalah mengamati/mengetahui perkembangan dan kemajuan, identifikasi masalah, serta antisipasinya/upaya pemecahannya.
Adapun definisi evaluasi, menurut OECD, merupakan proses yang menentukan nilai atau pentingnya suatu kegiatan, kebijakan, atau program. Selain itu, evaluasi juga diartikan sebagai rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan standar. Karena itu, monev menjadi bagian penting dalam sebuah perencanaan, terutama untuk melihat kelemahan dan kekuatan dari pelaksanaan program.
Setiap program kebijakan yang akan digulirkan akan menjadi lebih baik jika berbasis kajian dan telaah akademis sebagai basis penyusunan kebijakan tersebut. Misalkan, pemerintah memiliki program, namun untuk menyukseskannya, maka sejalan dengan pelaksanaan program tersebut perlu adanya kajian yang dilakukan para akademisi atau lembaga independen untuk melihat keberhasilan, celah keberhasilan, dan kelemahan yang ada.
Karena itu, akan sangat baik jika kebijakan pemerintah saat dimplementasikan dan program monevnya juga berjalan seiring untuk pencegahan dan perbaikan secara terus-menerus dengan hasil (outcome) yang terukur dan tercapai.
(Masih) Lemahnya Konsumsi Rumah Tangga
Kebijakan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang telah dicanangkan pemerintah sebagai upaya penanganan resesi akibat Covid-19 telah memberikan angin segar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa pandemi. PEN telah berhasil membawa Indonesia perlahan keluar dari jurang resesi. Hal itu terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus menunjukkan perbaikan sejak awal munculnya pandemi, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 masih rendah, seperti yang diprediksi hampir oleh semua lembaga.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 yang terkontraksi minus 2,07%, dengan pertumbuhan ekonomi Kuartal IV-2020 sebesar minus 2,19% (yoy). Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 masih lebih baik dibandingkan beberapa negara di dunia seperti Singapura (minus 5,8%), Filipina (minus 9,5%), Amerika Serikat (minus 3,5%) dan Uni Eropa (minus 6,4%).
BPS mencatat bahwa anjloknya pertumbuhan ekonomi sejalan dengan masih lemahnya konsumsi rumah tangga sepanjang 2020 yang hanya tumbuh minus 2,63%. Hingga pada kuartal IV/2020, penjualan eceran masih terkontraksi 17,39%. Padahal, jika dibandingkan dengan kuartal IV/2019 penjualan eceran berhasil tumbuh 1,39%.
Kontraksi penjualan eceran di 2020 terjadi pada penjualan makanan, minuman, dan tembakau, sandang, suku cadang dan aksesori, bahan bakar kendaraan, peralatan informasi dan telekomunikasi, barang budaya dan rekreasi, serta barang lainnya. Komponen penjualan wholesale mobil penumpang dan sepeda motor juga masih mengalami kontraksi. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga masih sangat rendah sehingga menjadi kewajiban kita semua untuk memperkuat demand (permintaan).
Fokus Daya Beli Masyarakat
Besarnya kontribusi konsumsi rumah tangga dalam mendorong roda perekonomian nasional mutlak mengharuskan program PEN 2021 untuk fokus dalam memacu daya beli masyarakat. Hal ini mengingat bahwa konsumsi rumah tangga memiliki kontribusi hingga 57% dari produk domestik bruto (PDB) nasional. Kini, bagi kelas menengah hingga bawah pemerintah perlu terus menjaga daya beli mereka melalui berbagai program bantuan sosial, perlindungan sosial, maupun penguatan UMKM. Untuk kelas menengah dan atas pemerintah perlu mendorong kepercayaan konsumen untuk bersedia membelanjakan uang mereka.
Pemerintah saat ini perlu memprioritaskan berbagai program untuk dapat mendorong sisi permintaan (demand), mengingat bahwa setinggi apa pun sisi penawaran (supply) namun jika tak diimbangi dengan permintaan masyarakat justru akan menjadi hal yang sia-sia. Pada pemulihan ekonomi 2021 saat ini perlu ada pengalihan dari supply side (penawaran) kepada demand side (permintaan) karena kecepatan demand side tersebutlah yang akan menumbuhkan supply side.
Pemerintah juga perlu bersinergi dalam meningkatkan belanja. Belanja kementerian/lembaga dan pemda diutamakan untuk menyerap produk-produk dalam negeri, baik produk pertanian maupun produk UMKM yang berdampak langsung meningkatkan daya beli. Semakin banyak dana yang digulirkan ke masyarakat maka akan mempercepat pemulihan daya beli. Selain itu, penyerapan anggaran pemerintah juga perlu segera diubah dari pola sebelum terjadi pandemi. Jika sebelum pandemi pemerintah lebih banyak melakukan kegiatan belanja di akhir tahun, saat ini pemerintah perlu segera mengoptimalkan realisasi belanja pemerintah pusat dan pemerintah daerah sejak awal tahun.
Peningkatan sisi permintaan yang sangat terpukul akibat pandemi Covid-19 masih akan menjadi pekerjaan rumah pemerintah dalam memacu pemulihan ekonomi. Meski demikian, tak ada yang tak mungkin jika segala usaha dan kerja sama antara pemerintah (pusat dan daerah) dan masyarakat bergotong-royong membangkitkan ekonomi nasional yang masih berada dalam lingkaran ketidakpastian akibat pandemi Covid 19. Semoga.
Prof Candra Fajri Ananda, Ph.D
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia