Perlambatan ekonomi global kian tak terbendung. Hampir seluruh proyeksi ekonomi dari berbagai lembaga ekonomi dunia memberikan gambaran kecemasan dan ketidakpastian global pada awal 2020, tak terkecuali Bank Indonesia (BI). BI menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2020 dari 3,1% menjadi 3%. Perlambatan ekonomi global tentu berdampak kepada Indonesia yang kini pertumbuhan ekonomi nasionalnya diperkirakan melambat hingga kisaran di bawah 5% pada 2020 akibat masih lemahnya pertumbuhan global yang salah satunya disebabkan penurunan permintaan komoditas dari China setelah dihantam wabah virus korona.
Kemunculan wabah virus korona secara tiba-tiba di tengah ketidakpastian ekonomi global menambah potensi keterpurukan pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dalam mengingat besarnya ketergantungan Indonesia terhadap China. Elastisitas perdagangan Indonesia dengan China mencapai 0,86%. Porsi perdagangan Indonesia-China yang dulu hanya 16% kini menjadi 30%. Selain itu Indonesia mengalami defisit karena impor Indonesia dari China lebih besar daripada ekspor. Sementara ini data BI menunjukkan bahwa dampak terhadap ekspor sebesar USD0,3 miliar dan impor USD0,7 miliar. Selanjutnya dampak terhadap investasi, khususnya dari China, sebesar USD0,4 miliar. Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan capaian produk domestik bruto (PDB) pada kuartal IV 2019 sebesar 4,97%. Sektor industri menurun dari 4,25% menjadi 3,66% (yoy), sektor perdagangan turun dari 4,41% ke 4,24% (yoy), dan sektor pertambangan turun dari 2,25% ke 0,94% (yoy). Tren penurunan di berbagai sektor tersebut menunjukkan ekonomi domestik Indonesia masih rentan terhadap guncangan ekonomi global. Kini kehadiran pemerintah sebagai pengambil kebijakan dipaksa sigap untuk mendorong ekonomi Indonesia agar dapat tumbuh sesuai dengan harapan. Berdasarkan APBN 2020, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 %. Pasalnya setiap perlambatan ekonomi China sebesar 100 basis poin (bps), ekonomi Indonesia akan terdampak sebesar 30 bps. Oleh sebab itu pemerintah perlu segera melakukan mitigasi, salah satunya dengan menjaga daya beli masyarakat. Mengelola Fiskal dan Moneter Saat ini dari sisi fiskal, pemerintah tengah berupaya menjaga daya beli masyarakat melalui percepatan realisasi beberapa program, di antaranya percepatan penyaluran dana desa hingga percepatan transfer dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Kementerian Keuangan telah menyalurkan dana BOS reguler tahap I gelombang I sebesar Rp9,8 triliun untuk 136.579 sekolah. Penyaluran dana BOS ke sekolah-sekolah pada bulan Februari 2020 ini lebih cepat bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang rata-rata baru masuk ke rekening sekolah pada bulan Maret dan April. Alokasi dana BOS reguler tahap I sebesar 30% diperuntukkan bagi sekolah yang telah mendapatkan rekomendasi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dana BOS disalurkan secara langsung dari rekening kas umum negara ke rekening sekolah sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9/PMK.07/2020 tentang Perubahan atas PMK Nomor 48/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan DAK Nonfisik. Melalui proses penyaluran yang lebih cepat ke rekening sekolah, diharapkan kegiatan operasional mengajar dapat dilaksanakan dan didanai lebih cepat. Selain itu baru-baru ini pemerintah juga telah menyalurkan dana desa tahun 2020 langsung dari kas umum negara ke rekening pemerintah desa. Tahun 2020 ini jumlah dana desa meningkat menjadi Rp72 triliun dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp70 triliun.
Percepatan penyaluran dana desa tersebut diharapkan mampu menggerakkan roda perekonomian desa melalui berbagai program kegiatan desa. Guna merealisasi hal tersebut, penyaluran TKDD tahun anggaran (TA) 2020 telah didesain berbasis kinerja dan dilakukan percepatan dengan transfer langsung sesuai dengan ketentuan perundangan untuk mempercepat pemanfaatan dana dan pencapaian output/outcome. Secara umum, kebijakan pemerintah ini juga diikuti kementerian/lembaga (K/L) dengan mempercepat realisasi belanjanya demi menggenjot perekonomian yang sedang dilanda berbagai tekanan. Belanja pemerintah, baik dalam bentuk belanja modal, belanja barang, belanja pegawai maupun belanja sosial, diharapkan berkontribusi secara optimal menjaga daya beli dan konsumsi masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan belanja barang dan belanja modal K/L pada Januari lalu yang masing-masing mencapai 13,2% dan 12,6% yoy. Dewan Gubernur melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,75%, suku bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 4,00%, dan suku bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 5,50%. Penurunan tingkat suku bunga acuan dapat menjadi angin segar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi domestik dan menjaga arus modal asing sebagai penopang stabilitas eksternal di tengah dinamika ekonomi global. Penurunan BI7DRR secara langsung diharapkan dapat mendorong sektor ekonomi, terutama swasta, agar terus dapat beraktivitas dan berkembang melalui ekspansi usahanya. Insentif Pemerintah dan Pariwisata Sektor pariwisata merupakan sektor yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu kekuatan perekonomian nasional dan sumber pendapatan daerah. Usaha memperbesar peran sektor pariwisata ini bisa dibantu melalui sektor transportasi maupun hotel dan restoran yang lebih murah. Pariwisata dipandang sebagai kegiatan yang multidimensi dari rangkaian suatu proses pembangunan. Semakin banyak tempat wisata yang dikelola baik oleh pemerintah daerah maupun penduduk setempat pasti akan menciptakan efek positif berganda bagi perekonomian. Melalui insentif yang diberikan pada sektor pariwisata tersebut, diharapkan wisatawan dalam negeri akan terus melakukan perjalanan wisata pada destinasi wisata domestik yang sangat indah dan menyebar ke seluruh Indonesia. Dengan demikian sangatlah tepat jika pemerintah juga akan memberikan insentif untuk menekan biaya transportasi. Begitu pula jika pemerintah akan memberikan insentif pada sektor hotel dan restoran. Semua ini tentu merupakan upaya menyeluruh dari pemerintah untuk mempertahankan sektor ekonomi tetap berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Selanjutnya pemerintah saat ini juga perlu mendorong sektor properti melalui sejumlah kebijakan insentif perpajakan untuk memicu geliat sektor tersebut. Pertumbuhan sektor real estat sempat menyamai pertumbuhan PDB nasional pada 2014 lalu, yaitu sebesar 5,01%. Akan tetapi pertumbuhan sektor real estat terus turun secara konsisten hingga tahun 2018 pada angka 3,58%. Selama periode 2014–2018, pemerintah juga mencatat proporsi sektor real estat terhadap PDB stagnan di bawah 3%. Indikator perkembangan sektor properti juga tecermin dari Indeks Pertumbuhan Harga Properti Residensial yang disurvei BI secara periodik. Berdasarkan hasil survei terhadap 18 kota utama, terlihat adanya perlambatan indeks pertumbuhan harga pada semua segmen properti seiring dengan pertumbuhan ekonomi domestik yang juga melambat. Padahal sektor konstruksi dan real estat merupakan sektor yang penting lantaran memiliki efek pengganda (multiplier-effect) yang tinggi. Peningkatan aktivitas di kedua sektor tersebut dapat mendorong kegiatan ekonomi yang lebih tinggi di sektor-sektor lain seperti perdagangan, semen, transportasi, jasa keuangan dan asuransi hingga sektor makanan dan minuman. Kuartal I-2020 memang baru sepertiga jalan, masih banyak jalan, waktu, dan asa untuk memperbaiki dan mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk atas dinamika ekonomi global. Waktu yang masih tersisa harus dimanfaatkan dengan baik. Kehadiran pemerintah sangat diperlukan dalam memulihkan dan memperkuat kondisi ekonomi domestik di tengah ketidakpastian ekonomi dunia. Semoga.
Candra Fajri Ananda Dosen dan Guru Besar FEB Universitas Brawijaya