KEHADIRAN otonomi daerah telah membawa perubahan besar dan mendasar terhadap pengaturan hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia. Otonomi daerah secara mutlak memberikan kewenangan pengelolaan pada masing-masing daerah hampir di segala bidang, tak terkecuali dalam bidang keuangan.
Pelimpahan kewenangan tersebut diikuti dengan penyerahan sumber-sumber pendanaan sesuai asas money follows function. Pemerintah daerah dituntut untuk siap menerima beban dan tanggung jawab yang berkaitan dengan potensi yang dimilikinya dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Keuangan daerah di Indonesia mempunyai karakteristik yang hampir sama, yaitu masih tingginya kebergantungan daerah terhadap pemerintah pusat secara finansial karena masih minimnya porsi penerimaan asli daerah (PAD). Masih besarnya kebergantungan sebagian besar daerah di Indonesia terhadap pusat secara finansial terlihat dari konsistensi kenaikan anggaran dana pusat yang mengalir ke daerah setiap tahunnya.
Tahun 2020, pemerintah kembali menambah porsi alokasi anggaran transfer daerah. Rancangan APBN (RAPBN) 2020 mengalokasikan anggaran transfer ke daerah sebesar Rp786,8 triliun (lebih tinggi 5,4% dari outlook realisasi anggaran transfer ke daerah pada 2019). Selain itu, anggaran dana alokasi umum (DAU) juga naik cukup signifikan dari Rp417,8 triliun (outlook 2019) menjadi Rp430,1 triliun pada 2020.
Signifikansi kenaikan DAU tahun ini ditujukan untuk memperkuat fungsi pemerataan kemampuan fiskal antardaerah, serta memperkuat implementasi penggunaan 25% dana transfer umum untuk belanja infrastruktur. Dengan target yang diinginkan dan kemampuan fiskal yang terbatas, pemerintah daerah perlu melakukan inovasi mencari sumber pembiayaan lain, salah satunya melalui obligasi daerah.
Keuntungan dan Risiko Obligasi Daerah
Penerbitan obligasi daerah menjadi perdebatan publik dalam beberapa tahun terakhir. Di satu sisi, tak sedikit yang berpendapat bahwa obligasi daerah belum saatnya diterapkan di Indonesia. Selain belum memiliki pengalaman, penerbitan obligasi daerah akan memberikan implikasi pada keuangan pemerintah daerah (pemda) pada masa mendatang.Di sisi lain, penerbitan obligasi daerah kini merupakan tuntutan dalam pembiayaan proyek pemerintah daerah, mengingat PAD tidak cukup untuk mendanai belanja pemda. Dana transfer daerah dari pemerintah pusat sebagian besar tersalur pada belanja pegawai yang tidak produktif.
Sejatinya, wacana penerbitan obligasi daerah sebagai salah satu alternatif pembiayaan daerah telah cukup lama ada. Ketentuan hukum yang mengayomi penerbitan obligasi daerah sudah ada sejak 2004. Terbaru, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah kembali mengakomodasi bolehnya pemda membiayai pengeluarannya dengan menerbitkan obligasi.
Dalam Pasal 300 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 disebutkan kepala daerah dengan persetujuan DPRD dapat menerbitkan obligasi daerah untuk membiayai infrastruktur dan/atau investasi yang menghasilkan penerimaan daerah setelah memperoleh pertimbangan dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan, sehingga seharusnya dengan diskursus yang cukup lama tersebut (lebih dari 15 tahun), persiapan penerbitan obligasi daerah sudah cukup dan tahun 2020 sudah siap diimplementasikan.
Implementasi penerbitan obligasi daerah perlu mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya kesiapan tata kelola utang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), termasuk pengelolaan sumber daya manusia (SDM). Pemda harus berhati-hati dalam mempertimbangkan obligasi daerah sebagai alternatif pembiayaan kegiatan pemerintahan daerahnya. Jangan sampai setiap daerah berlomba menerbitkan obligasi daerah tanpa ada pertimbangan yang matang.
Berkaca pada kebangkrutan Detroit, kota yang sebelumnya merupakan basis industri automotif di Amerika Serikat tersebut, harus mengajukan permohonan pailit pada pertengahan 2013 karena besarnya utang yaitu Rp180 triliun. Oleh sebab itu, perlu prinsip kehati-hatian (prudential) dalam menjalankan kebijakan ini.
Penerbitan obligasi daerah perlu memperhatikan bahwa nilai obligasi yang ditetapkan tidak boleh melebihi dari PAD serta harus mempertimbangkan kemampuan pemerintah untuk membayar kembali pada saat jatuh tempo. Jika obligasi melebihi jumlah PAD suatu daerah maka obligasi tersebut bukannya membantu, justru akan menambah permasalahan daerah tersebut dan membebani masyarakatnya.
Pemda harus mengacu pada kebutuhan riil dan kemampuan bayar dengan persyaratan yang ditetapkan total utang pemerintah daerah, termasuk kelonggaran tariknya tak boleh melebihi 75% dari APBD dikaitkan dengan penerbitan obligasi daerah. Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman (debt service coverage ratio/DSCR) tidak boleh melebihi 2,5%.
Memasuki tahun 2020, masih banyak pemerintah daerah yang masih terjebak pada penghematan anggaran karena keterbatasan sumber pendanaan di daerah. Ironisnya, keterbatasan anggaran tersebut menjadikan penyelenggaraan agenda pemerintahan, pembangunan, dan layanan publik hanya ala kadarnya, nyaris tanpa inovasi untuk peningkatan derajat ekonomi dan sosial warganya.
Potensi yang ada pada obligasi sangatlah besar, baik untuk pembangunan maupun untuk perekonomian suatu daerah. Hadirnya obligasi daerah dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi membiayai pembangunan daerah.
Transformasi masyarakat dari savings-oriented society menuju investment-oriented society akan memperkuat pasar modal. Oleh karena itu, obligasi daerah menjadi instrumen strategis menuju inklusi keuangan masa mendatang.Sayangnya, permasalahan utama yang dihadapi dalam penggunaan obligasi daerah sebagai alternatif pembiayaan adalah rendahnya pemahaman pemda, baik eksekutif maupun legislatif tentang obligasi daerah.
Obligasi daerah dapat menghasilkan sumber dana langsung dari masyarakat dan pembiayaannya jauh lebih murah dibandingkan pembiayaan melalui perbankan. Meski demikian, pemda harus dapat menyiapkan perencanaan yang baik dan berdampak positif dalam jangka panjang. Pemda harus cermat dalam memilih proyek yang dapat dibiayai melalui obligasi daerah untuk menghindari risiko gagal bayar.
Selama ini, salah satu poin yang diklaim menjadi batu sandungan penerbitan obligasi daerah adalah keharusan untuk mencantumkan perkiraan kapasitas dan pendapatan yang bisa diraih dari kegiatan yang dibiayai oleh obligasi daerah tersebut. Proyek yang dibangun oleh pemda tidak seluruhnya mengalirkan pendapatan. Artinya, proyek yang ditawarkan sebagai aset dasar (underlying) ada, namun tidak ada jaminan arus pendapatan (revenue stream).
Pemilik modal tentunya enggan membeli obligasi dengan karakteristik semacam ini. Oleh sebab itu, secara cermat melakukan pemilihan proyek yang cost recovery dan dapat menghasilkan revenue (revenue generating) seperti jalan tol, pasar, tempat wisata, dan rumah sakit.
Selain itu, sebelum melakukan penerbitan obligasi daerah, pemerintah perlu menyiapkan SDM dalam pengelolaan organisasi. Dalam pengelolaan obligasi, daerah harus membentuk unit khusus yang memiliki kewenangan dan tugas dalam pengelolaan obligasi daerah yang disebut debt management unit (DMU).
DMU mempunyai tugas menyusun level utang, merencanakan kebutuhan biaya, mengkaji alternatif pembayaran pokok dan bunga, dan menyiapkan administrasi penerbitan obligasi daerah. Badan ini membutuhkan kualifikasi SDM yang memiliki kompetensi profesional tertentu dan memiliki pengalaman di bidang investasi dan pasar modal.
Kesiapan lain yang diperlukan oleh pemda adalah sistem keuangan yang lebih transparan dan akuntabel dengan menyiapkan neraca keuangan daerah. Perlu ditinjau bahwa penggunaan obligasi daerah sebagai sumber pembiayaan infrastruktur bukan hanya sebagai penyedia dana segar untuk pembangunan, melainkan juga dapat mendorong keuangan pemda lebih transparan dan akuntabel sehingga obligasi daerah memberikan pendidikan pada pemda dalam hal transparansi keuangan daerah.
Pemda perlu membuat laporan keuangan bulanan dan kinerja lainnya, sehingga para pembeli obligasi yakin bahwa pemda telah menyelenggarakan pemerintahan dengan good and clean. Dengan kepercayaan (trust) tersebut maka diharapkan obligasi daerah tersebut mampu memberikan kekurangan pembiayaan pembangunan daerah. Semoga!
Candra Fajri Ananda
Dosen dan Guru Besar FEB Universitas Brawijaya