Lebih dari setahun pandemi berlalu. Meski sempat terjatuh dalam jurang resesi, namun kini ekonomi Indonesia telah bangkit. Pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021 tumbuh menggembirakan. Realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021 tercatat 7,07% (yoy), di atas ekspektasi sebagian besar analis pasar. Selain itu, Secara kuartal to kuartal (qtq), pertumbuhan ekonomi Indonesia juga berhasil tumbuh 3,31%, meski angka tersebut belum sebaik dalam kondisi normal. Seluruh pencapaian itu telah menegaskan bahwa Indonesia resmi berhasil keluar dari jurang resesi setelah pada kuartal I-2021 pertumbuhan ekonomi masih terkontraksi minus 0,74%. Kenaikan tersebut tak lepas dari momentum penguatan kinerja ekonomi global serta kebijakan countercyclical yang dilakukan oleh pemerintah yang mampu mendorong ekspor impor, investasi, sehingga pemulihan ekonomi nasional sudah on track.
Keynesian telah membuktikan bahwa dalam kondisi resesi ekonomi, intervensi pemerintah melalui belanja APBN efektif dalam menangani krisis-krisis di masa lalu. Ketika sebuah negara berada dalam kondisi krisis, maka belanja negara (government spending) akan menjadi ujung tombak pemulihan permintaan dan penawaran agregat, termasuk menjadi alat stabilisasi ekonomi (economic stabilizer).
Belanja pemerintah berhasil menjadi parasut bagi ekonomi Indonesia sehingga tak sampai terjun bebas dan jatuh pada jurang resesi yang dalam. Pada kuartal II-2021 realisasi belanja negara tumbuh relatif tinggi (9,38%, yoy) pada semester I 2021, baik dalam bentuk belanja barang, program bansos, maupun belanja modal terbukti memberikan dorongan yang cukup signifikan pada komponen PDB dari sisi pengeluaran, khususnya pada konsumsi pemerintah, masyarakat, serta investasi. Selama ini, belanja negara utamanya diarahkan untuk penanganan konsumsi pandemi yang dikemas dalam Program Pemulihan Ekonomi nasional (PEN). Realisasi PEN hingga 30 Juli 2021 mencapai sebesar Rp305,5 triliun atau 41% dari total pagu yang sebesar Rp744,75 triliun. Angka tersebut dialokasikan oleh pemerintah di antaranya untuk sektor kesehatan, perlindungan sosial, dukungan UMKM, dan insentif usaha.
Kebijakan belanja countercyclical pemerintah, utamanya melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), berdasarkan capaian kinerja makro ekonomi, bisa dikatakan telah berada di jalur yang benar. Kebijakan belanja pemerintah telah cukup berhasil dalam melindungi masyarakat miskin dan rentan yang terdampak pandemi, serta berhasil menstimulasi sektor usaha untuk kembali tumbuh positif pada kuartal II 2021. Konsumsi rumah tangga yang masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi telah berhasil tumbuh di kuartal II-2021 hingga 5,93%. Bahkan, angka tersebut lebih tinggi dari masa sebelum pandemi yang hanya tumbuh 5,18% kuartal II-2019. Selain itu, komponen investasi juga mencatatkan pertumbuhan tinggi (7,54%), terutama bersumber dari investasi bangunan yang merupakan kontributor terbesar dari aktivitas investasi sejalan dengan realisasi belanja modal Pemerintah yang relatif tinggi pada semester I 2021. Begitu juga kinerja ekspor dan impor juga mengalami lonjakan tajam, masing-masing tumbuh 31,78% dan 31,22%, sejalan dengan momentum menguatnya kinerja ekonomi global dan meningkatnya harga komoditas. Arah pemulihan yang cukup menggembirakan juga terlihat dari sisi produksi. Penguatan kinerja pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2021 bersifat broad-based, di mana seluruh sektor mampu tumbuh positif.
Optimalisasi Belanja Daerah
Berdasarkan teori ekonomi, variabel pemerintah (khususnya anggaran) dianggap sebagai salah satu variabel penggerak pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Selanjutnya, hal ini diharapkan akan menciptakan multiplier effect di berbagai sektor ekonomi lainnya. Multiplier effect pengeluaran pemerintah tersebut akan semakin besar jika asumsi bahwa belanja pemerintah digunakan untuk kegiatan produktif dan memiliki multiplier yang tinggi.Peran penting APBD dalam konteks pembangunan ekonomi juga sangat vital, mengingat hampir 1/3 APBN sudah di transfer ke daerah dalam bentuk TKDD. Presiden tak hentinya terus mendorong para kepala daerah untuk segera membelanjakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) agar dapat menggerakkan ekonomi di daerah. Sayangnya, memasuki semester II/2021, realisasi belanja daerah tercatat masih rendah, yakni sebesar Rp373,86 triliun (47%) dari total anggaran.
Guna memperkuat proses pemulihan ekonomi akibat pandemi, pemerintah daerah secepatnya membelanjakan anggaranya, terutama untuk penangann kesehatan dan perlindungan sosial, sekaligus program prioritas daerah.
Setelah ditelaah lebih lanjut, setidaknya terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab lambatnya penyerapan anggaran di daerah, salah satunya adalah karena adanya realokasi dan refocusing anggaran akibat pandemik, di mana tetap harus dikonsultasikan dengan parlemen daerah. Selain itu, sistem informasi penganggaran yang baru, juga mempengaruhi kecepatan belanja daerah. Satu sisi, walaupun ini menghambat, positifnya adalah meningkatnya perhatian pemerintah daerah akan pengelolaan anggaran yang transparan, good and clean. Selain itu, kita juga menyadari betapa birokrasi pemerintahan kita masih belum bergeser pada administrasi surat menyurat, yang seringkali menjadi hambatan, bukan memperlancar.Untuk itu, pandemi ini memang harus disikapi dengan semangat perubahan (reformasi birokrasi) yang mengarah pada kecepatan, efisiensi, bersih dan benar. Saat inilah, waktu yang tepat untuk terus berubah dan bertransformasi baik dari pengelolaan birokrasi maupun bidang ekonomi serta pola pandang masyarakat terhadap pembangunan (semakin inkusi).
Fleksibilitas dan Percepat Penggunaan Anggaran
Stimulus fiskal tidak dapat tercapai dengan baik tanpa pencairan anggaran yang cepat, tepat sasaran dan menegakkan prinsip-prinsip tata kelola keuangan yang baik. Oleh sebab itu, di masa pandemi ini, pemerintah perlu segera melakukan percepatan dalam belanja, mengingat penting peran belanja dalam masa pandemi. Walaupun begitu, aturan pengaturan dan proses perubahan dalam belanja, harus dilakukan secara benar dan tepat sesuai dengan aturan yang sudah berlaku. Fleksibilitas yang diinginkan adalah dalam target dan penetapan prioritas, bukan di dalam proses (SOP). Saat adanya perintah presiden untuk melakukan refocusing dan realokasi, respon masing-masing daerah sangat berbeda, mengingat kemampuan birokrasi dan hubungan eksekutif dan legislatif sangat dinamis dan berbeda di masing-masing daerah.
Pandemi yang berjalan saat ini, memang mengarah pada ketidakpastian yang sangat tinggi. Menghadapi kondisi yang serba tidak pasti dan terus berubah, maka diperlukan fleksibilitas dalam setiap kebijakan termasuk pengelolaan anggaran. Meski demikian, pengelolaan anggaran harus tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian, transparansi, dan akuntabilitas. Semakin cepat proses pencairan, maka semakin cepat pula efek pengganda (multiplier effect) terbentuk. Apabila hal itu tercapai, maka dorongan ekonomi dari intervensi belanja pemerintah juga akan semakin nyata. Semoga.
Candra Fajri Ananda Ph.D
Staf Khusus Kementerian Keuangan RI