DI UJUNG periode pertama pemerintahan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan hingga 9,82% dan angka ini merupakan capaian terbaik persentase penduduk miskin berada dalam satu digit. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2018 adalah 25,95 juta orang.
Angka tersebut menurun jika dibandingkan dengan September 2017, yaitu 26,58 juta orang (10,12%). Sayangnya pencapaian “satu digit” angka kemiskinan tersebut masih jauh, berbanding terbalik dengan angka kemiskinan di Aceh sebagai daerah yang kaya sumber daya alam, yang menyentuh angka 15,68% atau jauh di atas rata-rata nasional yang hanya sekitar 9%.
BPS menyebutkan bahwa Aceh masih berada pada posisi pertama penduduk miskin di Pulau Sumatera, yakni sebesar 831.500 penduduk (2018) dan posisi keenam untuk seluruh Indonesia setelah Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Gorontalo. Setidaknya terdapat tiga wilayah kabupaten yang menjadi kantong kemiskinan Aceh, yakni Aceh Singkil sebesar 22,11%, Gayo Lues 21,97%, dan Pidie Jaya 21,82%.
Menariknya, dilihat dari hasil survei Indeks Kebahagiaan 2017 yang dirilis BPS, empat provinsi dari wilayah termiskin di Indonesia, yang salah satunya Aceh, justru memiliki Indeks Kebahagiaan yang cukup tinggi sebesar 71,96. Angka tersebut lebih tinggi dari rata-rata Indeks Kebahagiaan Indonesia yang sebesar 70,69. Angka Indeks Kebahagiaan Provinsi Aceh juga berhasil mengalahkan Provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Riau, dan Banten yang termasuk dalam provinsi dengan angka kemiskinan terendah (BPS, 2018).
Literatur sejarah Aceh menyebutkan bahwa Aceh merupakan provinsi dengan modal sosial yang hebat, terutama dalam bidang adat istiadat, pendidikan, dan agama. Modal sosial ini juga yang membedakan Aceh dengan daerah lain di Indonesia. Adapun beberapa unsur pokok dari modal sosial yang menonjol pada masyarakat Aceh adalah hubungan timbal balik (reciprocity), kepercayaan (trust), norma-norma sosial, nilai-nilai yang tertanam dalam masyarakat, dan tindakan yang proaktif.
Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan
Sustainable Development Solutions Network (SDSN) melalui World Happiness Report (WHR) 2017 menobatkan Norwegia sebagai negara paling bahagia di dunia dengan skor Gross National Happiness (GNH) sebesar 7,537 (skala 0–10). Selanjutnya negara lain yang termasuk ke dalam 10 besar pemilik GNH tertinggi setelah Norwegia adalah Denmark, Islandia, Swiss, Finlandia, Belanda, Kanada, Selandia Baru, Swedia, dan Australia.
GNH merupakan pendekatan pengukuran ekonomi yang tidak hanya menggunakan angka GDP per kapita (per kepala penduduk), tetapi juga mengukur angka harapan hidup, dukungan sosial, tingkat kepercayaan (diukur melalui indeks kebebasan korupsi), tingkat kepedulian sosial (diukur dari persentase donasi), serta kebebasan menentukan pilihan hidup.
Berdasarkan data WHR 2017, Indonesia menempati peringkat ke-82 dunia berdasarkan skor GNH. Angka tersebut sedikit berada di bawah China yang menduduki peringkat ke-80 dunia.
Beberapa kondisi sosial politik yang belum stabil, teror yang merebak luas di tengah masyarakat, masih banyaknya korupsi para petinggi negara, keadilan yang tumpul di atas tajam di bawah, kondisi ketimpangan antarmasyarakat dalam hal kesejahteraan, kemiskinan yang meluas, dan harapan pesimistis dari masyarakat terhadap masa depan Indonesia yang lebih baik menjadi beberapa faktor yang cukup mengurangi kebahagiaan hidup penduduk Indonesia.
Belajar dari Bhutan, sebagai salah satu negara yang paling bahagia di dunia dan telah menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, mereka memakai konsepsi pembangunan dengan pendekatan holistik dalam mencapai kemajuan bangsa, untuk tidak sekadar mengadakan pembangunan secara fisik, tetapi juga mengedepankan pembangunan manusia, sosial, dan lingkungan. Hal itu telah berhasil membantu Bhutan menjadi negara yang penduduknya memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi.
Standar Pelayanan Minimum (SPM)
Jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 264 juta jiwa dan diproyeksikan akan terus meningkat hingga menjadi 318 juta jiwa pada tahun 2045. Jumlah yang besar secara kuantitas ini merupakan modal dasar yang besar bagi pembangunan Indonesia di masa mendatang. Di sisi lain besarnya kuantitas tersebut juga dapat menjadi permasalahan besar manakala tidak diimbangi dengan kualitas penduduk yang baik.
Selama periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi, pembangunan lebih difokuskan pada infrastruktur. Jalan tol, waduk, bandara, pelabuhan begitu masif dibangun di berbagai wilayah di Indonesia.
Kini di periode kedua Presiden Jokowi menekankan diri pada pembangunan manusia dengan semangat yang sama besar seperti pada periode pertama saat membangun infrastruktur. Presiden Jokowi sangat yakin bahwa dengan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik, kesejahteraan masyarakat lebih mudah dicapai.
Teori welfare state secara jelas menyebutkan bahwa negara melalui pemerintahannya akan menjamin terselenggaranya kesejahteraan rakyat, salah satunya melalui penyediaan pelayanan dasar yang merata di seluruh negeri. Di Indonesia, interpretasi dari pelayanan sosial yang baik ialah melalui Standar Pelayanan Minimal (SPM).
SPM merupakan ketentuan mengenai jenis dan mutu dasar pelayanan yang merupakan urusan wajib yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal. Meskipun Indonesia telah memiliki SPM, hingga kini kualitas pelayanan dasar yang ada belum merata. Padahal hal ini sangat krusial bagi produktivitas ekonomi dan kesejahteraan sosial penduduk.
Di bidang pendidikan, misalnya, standardisasi pelayanan pendidikan di Indonesia belum merata. Hal itu tecermin melalui angka buta huruf yang masih tergolong tinggi di beberapa wilayah.
Menurut data BPS (2018), terdapat enam provinsi di Indonesia dengan angka buta aksara lebih dari 4%. Daerah tersebut ialah Provinsi Papua (22,88%), Nusa Tenggara Barat (7,51%), Nusa Tenggara Timur (5,24%), Sulawesi Barat (4,64%), Sulawesi Selatan (4,63%), dan Kalimantan Barat (4,21%).
Mengingat keragaman Indonesia yang sangat besar tersebut, pembangunan tidak harus dipaksakan menjadi daerah kota semua, misalnya tidak harus seperti Surabaya atau Jakarta. Kota-kota kecil lain seperti Trenggalek, Tulungagung, Madiun, Ngawi, tentu dengan kekhasannya, pasti juga mampu membahagiakan penduduknya.Di luar itu penyediaan layanan dasar dengan kualitas yang sama (sesuai dengan SPM) di seluruh wilayah Indonesia merupakan syarat wajib untuk membawa Indonesia menuju pada negara kesejahteraan dengan keragaman.
Candra Fajri Ananda
Guru Besar dan Dosen FEB Universitas Brawijaya