TANTANGAN pembangunan yang kian kompleks dan rumit membuat pemerintah tidak bisa bekerja sendirian untuk menyelesaikan semuanya. Kolaborasi antarelemen masyarakat seringkali menjadi sebuah solusi mengingat kompleksitas masalah juga menuntut keahlian yang spesifik untuk mengatasinya. Oleh karena itu, penyelenggaraan pembangunan memerlukan pihak lain untuk terlibat aktif dalam mendesain kebijakan dan ikut mengawasi proses pelaksanaan. Di era terkini, pemerintah tidak lagi sungkan-sungkan mengajak sektor swasta dan akademisi untuk duduk bersama membincangkan isu-isu terkini agar memperluas referensi kebijakan.
Konsepsi ini yang kemudian diperkenalkan sebagai sinergi triple helix. Pemerintah mulai menyadari bahwa kebijakan yang paling efektif adalah kebijakan yang paling sesuai dengan dinamika pasar. Namun dalam perjalanannya seiring kian berkembangnya praktik demokrasi, keterbukaan, dan tuntutan untuk membuka ruang partisipasi yang lebih luas lagi, konsepsi ini kemudian diperluas cakupannya dengan memasukkan unsur media dan komunitas/organisasi masyarakat (ormas) dalam ring utama pembangunan. Konsep ini kemudian diistilahkan sebagai sinergi pentha helix. Dalam elemen pentha helix, disitu ada berbagai sumber kekuatan yang bisa diarahkan untuk meningkatkan efektivitas pembangunan. Pemerintah dengan kekuasaan politiknya dapat diolah sebagai political power. Komunitas yang memayungi unsur-unsur masyarakat baik yang bersifat homogen maupun heterogen memiliki kekuatan berupa social power. Akademisi yang secara reguler terus mengembangkan teori-teori pembangunan memiliki kekuatan dari sisi knowledge power. Para pengusaha selaku pelaku bisnis secara langsung memiliki kekuatan dari sisi entrepreneurship power. Dan unsur pentha helix yang terakhir, yakni media sebagai corong informasi bagi masyarakat, memiliki kekuatan dari sisi opinion power. Kita bisa membayangkan betapa dahsyatnya sumber kekuatan ini jika dapat dipersatukan dalam arah yang sama. Tentu elaborasi kelimanya perlu didesain agar tepat pada potensi dan wewenangnya masing-masing. Menurut pandangan penulis, ibarat sebuah formasi dalam olahraga futsal, kelima unsur pentha helix memiliki posisi masing-masing yang disesuaikan dengan karakteristik dan kapasitas potensinya. Di posisi striker, penulis menempatkan dua karakter yakni komunitas masyarakat dan pebisnis sebagai ujung tombaknya. Karena pada hakikatnya, kedua karakter tersebut yang paling dekat dengan dampak langsung atas hasil pembangunan di suatu daerah/negara. Jika merujuk pada struktur ekonomi Indonesia, keduanya juga menjadi yang paling tinggi peranannya dalam akselerasi pertumbuhan ekonomi. Pebisnis mendukung pertumbuhan ekonomi melalui kekuatan produksi dan investasinya, sedangkan masyarakat menjadi tulang punggung perekonomian dengan kekuatan konsumsinya. Pada saat keduanya menahan kekuatannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia biasanya langsung lunglai seketika. Oleh karena itu, kedua karakter perlu dirawat eksistensinya dengan menciptakan supporting systems dari unsur-unsur lainnya dalam sinergi pentha helix. Pada formasi selanjutnya, karakter akademisi dan media penulis tempatkan sebagai pilar pertahanan dan pengumpan serangan. Keduanya layak menempati posisi tersebut karena core business-nya memang tidak didesain sebagai penyerang, tetapi sebagai penyeimbang. Akademisi bisa berperan memberikan umpan serangan berupa inovasi dan pembaharuan sebagai prasyarat untuk menciptakan daya saing dan menggenjot laju pertumbuhan ekonomi. Sedangkan peran media terletak pada spesialisasinya sebagai pembentuk opini dan penyebarluasan informasi yang berguna dalam proses pembangunan. Akademisi dan media bisa menjadi jembatan pengetahuan dan daya saing. Adapun posisi yang paling tepat bagi pemerintah adalah sebagai keeper dalam struktur pembangunan. Indonesia sebagai negara penganut paham Keynesian memiliki karakter bahwa peran pemerintah baru dibutuhkan pada saat kondisi pasar sedang mengalami “defisit”. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa pemerintah juga bisa membantu serangan, karena pada kondisi yang lain, pemerintah kadangkala menjadi langkah awal dari sebuah struktur pembangunan. Posisi kiper dalam permainan futsal atau sepak bola modern memiliki karakter yang lebih dinamis dalam permainan. Peran vital seorang kiper tidak hanya dispesialiskan sebagai benteng terakhir pertahanan, tetapi kiper juga mulai dituntut memiliki fleksibilitas yang tinggi bisa sebagai penjaga gawang, pengumpan jitu melalui short-pass atau long-pass, dan juga menjadi penyemangat bagi timnya. Namun core utamanya tetap sebagai buffer dan penyeimbang. Praktik Pentha Helix Jika melihat perkembangan terkini dalam lingkup Indonesia, defisit pembangunan yang paling menonjol tampak dari sisi pembiayaan, inovasi, daya saing, regulasi, dan inklusivitas ekonomi. Oleh karena itu kita perlu menghidupkan sinergi pentha helix sebagai salah satu media gotong-royong pembangunan.
Misalnya di bidang pembiayaan, sangatlah tidak cukup dana yang dimiliki pemerintah untuk menyelesaikan seluruh permasalahan pembangunan. Untuk itu pemerintah perlu melibatkan swasta dan masyarakat untuk terlibat dalam pembiayaan pembangunan. Namun untuk dapat mengikutsertakan sektor swasta dan masyarakat dalam pembiayaan, pemerintah sendiri perlu memikirkan bagaimana mekanisme kelembagaannya. Selain dengan menciptakan peraturan yang stabil, transparansi anggaran dan keterbukaan informasi juga dibutuhkan untuk meyakinkan public bahwa pembiayaan pembangunan akan dikelola secara kredibel, profesional, dan menghasilkan keuntungan bersama. Kondisi yang sama juga dibutuhkan di tingkat daerah. Pembangunan daerah jika hanya dilakukan oleh pemerintah sendiri, bisa dipastikan kinerjanya akan lebih lambat dalam pelaksanaan. Oleh karena itu peran sektor swasta dan masyarakat di daerah sangat diperlukan untuk menginisiasi dan mengimplentasikan gotong-royong ekonomi. Pemerintah berperan sebagai desainer kerangka kebijakan dan menyiapkan rule of the game, sedangkan sektor swasta dan masyarakat tetap menjadi ujung tombak melalui investasi, produksi, dan konsumsi. Bagaimana dengan peran akademisi dan media? Ya seperti yang penulis utarakan tadi. Keduanya akan menjadi penyempurna kebijakan jika core business-nya dapat dioptimalkan. Akademisi dapat menjadi advisor bagi pemerintah, pebisnis, dan masyarakat untuk melahirkan konsep-konsep inovasi. Sedangkan peran media menjadi penjaga gawang penyebarluasan informasi dan transparansi, karena pada hakikatnya informasi yang transparan akan meminimalkan biaya transaksi ekonomi.
Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya