INDONESIA merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki kinerja ekonomi yang terus tumbuh dan stabil dengan capaian rerata pertumbuhan ekonomi dari 2015 hingga 2019 sebesar 5,03% atau jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi global yang hanya sebesar 2,72%. Salah satu sektor penting lain, sektor keuangan, juga berperan sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Data menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir rerata pertumbuhan jasa keuangan adalah sebesar 6,02%.
Meski secara umum kinerja jasa keuangan terus tumbuh positif, sayangnya industri jasa keuangan Indonesia masih relatif lebih rendah dari negara setara di Kawasan Asia Tenggara. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di tahun 2020 mencatat bahwa aset perbankan Indonesia mampu mengalami peningkatan hingga Rp9.333 triliun atau sebesar 59,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Akan tetapi, angka tersebut masih lebih kecil dibandingkan dengan beberapa negara di Kawasan Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina yang masing-masing memiliki aset perbankan sebesar 325,8%, 206%, 144,9%, dan 100,6% terhadap PDB.
Di tengah perkembangan sektor keuangan Indonesia yang terus menunjukkan laju positif, peran perbankan nasional sebagai lembaga intermediasi keuangan tak lepas dari sejumlah tantangan besar. Angka penyaluran kredit yang masih relatif rendah terhadap PDB menjadi salah satu tantangan penting yang harus dihadapi. Pada tahun 2020, penyaluran kredit terhadap PDB sebesar 36,66%, jauh lebih rendah dibandingkan kinerja penyaluran kredit perbankan di Thailand, Malaysia, dan Singapura yang masing-masing sebesar 160%, 134%, dan 133% (World Bank, 2020).
Selain itu, tantangan lain juga datang dari tingginya biaya transaksi dan efisiensi di sektor perbankan. Hal itu terlihat dari tingginya cost of fund melalui suku bunga kredit yang rata-rata sebesar 9,7%. Meskipun suku bunga pinjaman dalam tren menurun, namun suku bunga pinjaman masih relatif tinggi bila dibandingkan dengan negara lain di kawasan.
Di samping itu, tantangan lainnya yang juga dihadapi oleh perbankan nasional ialah masih rendahnya tingkat literasi keuangan Indonesia yang hanya berkisar 38,03%. Demikian dengan tingkat inklusi yang masih berada pada kisaran 61,7%. Sehingga, salah satu dampak negatif dari rendahnya literasi dan inklusi keuangan tersebut adalah maraknya praktik ilegal di industri jasa keuangan yang merugikan masyarakat.
Kondisi yang dihadapi oleh industri jasa keuangan saat ini perlu menjadi perhatian serius. Sebab, tantangan industri jasa keuangan ke depan akan menjadi lebih berat di tengah masih tingginya ketidakpastian ekonomi akibat pandemi yang belum menepi. Di tengah terbatasnya mobilitas masyarakat, wajah sektor industri jasa keuangan ke depan juga akan terus dinamis dan membutuhkan transformasi, dari yang berbasis fisik menjadi berbasis digital.
Mendorong Industri Jasa Keuangan Yang Inklusif, Aman, dan Stabil Sebagai salah satu sumber penyedia dana bagi perekonomian, industri jasa keuangan memegang peranan penting sebagai salah satu engine of growth. Oleh sebab itu, industri jasa keuangan harus terus berbenah, baik dalam menghadapi arus perubahan zaman maupun dalam rangka meningkatkan peran dalam perekonomian.
Industri jasa keuangan harus bertransformasi menjadi industri yang mampu diakses oleh semua rakyat (inklusif), memberikan rasa aman bagi konsumen dan investor, dan memiliki ketahanan yang kuat (stabil) di tengah situasi ketidakpastian dan tingginya faktor risiko. Untuk itu, di masa yang akan datang, pengembangan industri jasa keuangan harus fokus pada tiga hal utama yakni pro-growth, pro-stability, dan pro-protection. Selain itu, urgensi penguatan kebijakan dan regulasi di industri jasa keuangan juga penting dilakukan karena pesatnya perkembangan digitalisasi yang berdampak pada industri jasa dalam satu dekade terakhir.
Pesatnya perkembangan teknologi saat ini mutlak perlu diimbangi oleh pengaturan dan kebijakan yang relevan. Jika tidak, perkembangan yang terjadi secara masif tersebut akan menimbulkan disrupsi bagi industri jasa keuangan yang pada akhirnya akan berdampak pada kerugian konsumen dan stabilitas sektor keuangan. Sebagaimana diketahui, sebagian besar regulasi yang mengatur mengenai industri jasa keuangan telah berumur lebih dari dua dekade, atau disusun sebelum praktik bisnis di industri jasa keuangan berkembang pesat seperti saat ini.
Integrasi Data dan Kestabilan Sistem Keuangan Pelajaran yang kita peroleh dari pandemi adalah industri keuangan, bank sentral, LPS serta pemerintah berjaga Bersama mengawal ancaman pandemi pada perekonomian. Sebaran dan integrasi informasi, termasuk data dari lembaga–lembaga tersebut akan menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga kestabilan sistem keuangan yang ada.
Data–data yang dihasilkan dari lapangan, mengingat sektor keuangan adalah salah satu sektor yang paling dinamis terhadap perubahan, sangat memerlukan keakuratan dan aktual. Tentu saja ini menuntut investasi besar-besaran pada digitalisasi bukan hanya pada alat/perlengkapan tetapi juga keahlian SDM pada lembaga-lembaga tersebut. Secara umum, investasi di teknologi dan SDM dengan keahlian tertentu menjadi suatu keniscayaan. Demikian juga aturan main (regulasi) untuk menjaga aturan main yang lebih fair dan inklusif sangat dibutuhkan, agar pelaku sektor keuangan semakin menyebar dan berkembang.
Penguatan kelembagaan pengawas sektor keuangan serta evaluasi regulasi adalah kunci keberhasilan peningkatan sektor keuangan nasional. Sinergitas antara penguatan institusi dengan penguatan kebijakan yang sifatnya menyeluruh merupakan jalan pembuka bagi sektor keuangan Indonesia untuk mampu melaju lebih cepat dalam bertumbuh dan menjadi faktor determinan pendorong pertumbuhan ekonomi nasional, menjaga stabilitas, dan memberikan perlindungan konsumen. Pun, signifikansi peran industri jasa keuangan dalam pembangunan, kebijakan dan regulasi juga harus searah dengan fondasi ekonomi dan transformasi struktural untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai negara maju. Semoga.
Prof Candra Fajri Ananda, PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan RI