PANDEMI Covid 19 terjadi sejak 2020 mutlak memaksa porsi belanja pemerintah kian meningkat dan penerimaan mengalami tekanan. Akibatnya, pilihan kebijakan defisit pun tak terelakkan. Pada kondisi ekonomi yang tertekan akibat pandemi, pemerintah tidak akan bisa menekan belanja terutama untuk memberikan bantuan kepada masyarakat serta pelaku usaha yang terdampak Covid-19. Sebab, jika saat ini belanja dikurangi dengan pemberhentian proyek pemerintah maka stimulus ke perekonomian juga akan terhenti.
Di sisi lain, tekanan pandemi dengan berbagai pembatasan yang dilakukan akan berdampak ke sisi penerimaan sehingga menyebabkan perlambatan ekonomi dan menurunkan penerimaan negara, terutama pajak. Penerimaan pajak pada tahun 2020 mengalami penurunan yang mendalam hingga level terendah dalam lima tahun terakhir, yakni sebesar Rp 1.070 triliun. Kekurangan penerimaan atau shortfall mencapai Rp 128,8 triliun meski target telah dipangkas hingga dua kali mencapai Rp 443,8 triliun dari target awal APBN 2020.
Kini, meski perekonomian nasional berangsur pulih dan berhasil keluar dari jurang resesi, namun dilihat dari sisi penerimaan pajak masih belum seutuhnya mengalami pemulihan. Penerimaan pajak semester I-2021 tercatat Rp 557,8 triliun atau tumbuh 4,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020. Saat itu penerimaan pajak hanya Rp 531,8 triliun, lebih rendah dari capaian tahun 2019 yakni Rp604,3 triliun.
PANDEMI Covid 19 terjadi sejak 2020 mutlak memaksa porsi belanja pemerintah kian meningkat dan penerimaan mengalami tekanan. Akibatnya, pilihan kebijakan defisit pun tak terelakkan. Pada kondisi ekonomi yang tertekan akibat pandemi, pemerintah tidak akan bisa menekan belanja terutama untuk memberikan bantuan kepada masyarakat serta pelaku usaha yang terdampak Covid-19. Sebab, jika saat ini belanja dikurangi dengan pemberhentian proyek pemerintah maka stimulus ke perekonomian juga akan terhenti.
Di sisi lain, tekanan pandemi dengan berbagai pembatasan yang dilakukan akan berdampak ke sisi penerimaan sehingga menyebabkan perlambatan ekonomi dan menurunkan penerimaan negara, terutama pajak. Penerimaan pajak pada tahun 2020 mengalami penurunan yang mendalam hingga level terendah dalam lima tahun terakhir, yakni sebesar Rp 1.070 triliun. Kekurangan penerimaan atau shortfall mencapai Rp 128,8 triliun meski target telah dipangkas hingga dua kali mencapai Rp 443,8 triliun dari target awal APBN 2020.
Kini, meski perekonomian nasional berangsur pulih dan berhasil keluar dari jurang resesi, namun dilihat dari sisi penerimaan pajak masih belum seutuhnya mengalami pemulihan. Penerimaan pajak semester I-2021 tercatat Rp 557,8 triliun atau tumbuh 4,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020. Saat itu penerimaan pajak hanya Rp 531,8 triliun, lebih rendah dari capaian tahun 2019 yakni Rp604,3 triliun.
Tarif CHT tak bisa hanya dilihat sebagai komponen penerimaan negara tanpa memperhatikan keberlangsungan industrinya. Industri perlu bertahan untuk memberikan penerimaan negara yang optimal melalui cukai. Kini IHT masih berada dalam masa pemulihan sebagaimana industri lainnya yang berjuang bertahan di tengah badai pandemi. Oleh sebab itu, saat ini tarif cukai menjadi hal krusial bagi IHT untuk dapat bernafas di tengah himpitan pandemi.
Alternatif BKC
Kebijakan fiskal merupakan bagian yang sangat penting untuk mengatur industri. Kebijakan cukai juga memainkan peran yang sangat penting dalam mengatur produk tertentu, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39/2007 Tentang Cukai. Sejatinya, cukai memiliki peran hybrid yakni sebagai instrumen pengendalian eksternalitas sekaligus sumber penerimaan negara. Cukai tidak hanya memberikan kontribusi bagi pendapatan negara, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk mengontrol dampak negatif dari mengkonsumsi produk tertentu.
Dibandingkan dengan negara-negara di dunia, Indonesia masih tergolong dalam negara yang extremely narrow coverage dalam pengenaan cukai. Artinya Indonesia hanya mengenakan cukai sangat terbatas hanya pada tiga jenis barang kena cukai yaitu tembakau, alkohol, etil alkohol. Padahal, selain tiga BKC tersebut masih banyak produk lain yang perlu dikendalikan peredarannya karena berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan. Oleh sebab itu, perluasan objek (ekstensifikasi) cukai perlu ditambah untuk meningkatkan pengendalian produk berbahaya sekaligus mendorong peningkatan penerimaan negara.
Barang kena cukai yang telah diterapkan di beberapa negara lain dapat diadopsi oleh Indonesia untuk dapat menjadi alternatif penerimaan cukai pemerintah selain CHT. Komoditi-komoditi yang dapat dimasukkan ke dalam BKC antara lain: gula, minuman berkarbonasi, daging, kendaraan bermotor, kartu permainan, peralatan listrik, bahan peledak, parfum, perhiasan, BBM dan komoditi lainnya. Pada prinsipnya BKC adalah barang-barang yang dibatasi peredaran ataupu konsuminya (penggunaannya). Hal ini disebabkan karena menganggu kesehatan maupun dampak eksternalitas negative yang dihasilkan (misalnya, kerusakan lingkungan).
Objek cukai di Indonesia tertinggal dengan objek negara-negara ASEAN, yang mana rata-rata negara di kawasan ini memungut cukai pada 7 objek kena cukai. Selain itu, hasil studi komparasi Kristiaji dan Yustisia (2019) juga menunjukkan secara rata-rata terdapat 9 kategori objek kena cukai dari 53 negara. Adapun negara kategori upper-middle income dan low income memiliki sekitar 12 kategori objek kena cukai, negara lower-middle income memiliki sekitar 8 kategori objek kena cukai, dan negara high income memiliki sekitar 6 objek kena cukai. Hal itu menjelaskan bahwa sesungguhnya masih banyak sumber sumber pendapatan negara yang belum digali dan dimanfaatkan oleh pemerintah menjadi sumber pendapatan negara yang dapat menutupi atau mengurangi defisit anggaran negara.
Sudah saatnya Indonesia melakukan perluasan objek cukai. Pemerintah tidak bisa mengandalkan terus menerus pada penerimaan cukai hanya pada produk hasil tembakau, alkhohol, dan minuman beralkohol. Target penerimaan cukai yang terus tumbuh setiap tahun tanpa diiringi dengan ekstensifikasi barang kena cukai hanya akan merugikan sektor tertentu. Oleh sebab itu, pengkajian terhadap alternatif Barang Kena Cukai (BKC) selain produk hasil tembakau, alkhohol, dan minuman beralkohol mendesak dilakukan untuk dapat mendorong penerimaan negara. Semoga.
Prof Candra Fajri Ananda Ph.D Staf Khusus Kementerian Keuangan Republik Indonesia