Perppu dalam Reformasi Kebijakan

Di tengah serangan gelombang Covid-19 yang masih masif dan terus membawa korban lebih besar, pemerintah menyikapi dengan segala daya untuk mencegah dampak serangan yang tidak hanya pada kesehatan, tetapi juga akan berdampak kepada sosial dan ekonomi masyarakat ini. Upaya-upaya perlindungan dan pengobatan atas serangan covid-19 tidak hanya pada satu area, karena saat ini virus sudah menyebar pada hampir seluruh provinsi di Indonesia. Jadi betapa besar pendanaan yang dibutuhkan untuk memerangi virus ini dan tidak bisa dilakukan dengan cara-cara biasa.

Sebagian besar dunia (193 negara) saat ini juga melakukan hal yang sama, perang melawan Covid-19. Perekonomian dunia pun harus menanggung atas tragedi kemanusiaan ini. JP Morgan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia akan kontraksi sebesar -1,1%, The Economist Intelligence Unit melihat lebih mendalam sebesar -2,2% dan IMF menyatakan bahwa dunia sedang memasuki fase krisis ekonomi dunia. Kesimpulannya apa?

Lembaga-lembaga tersebut memiliki pemahaman yang sama bahwa Covid-19 ini akan mendorong disrupsi pada permintaan dan penawaran. Pada permintaan muncul dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja pada beberapa industri, pengangguran pada pekerja informal serta usaha kecil dan menengah (UKM). Begitu juga pada sisi penawaran, disrupsi terjadi karena beberapa industri yang bahkan sebelumnya menjadi kekuatan ekonomi suatu negara, apalagi karena sudah masuk dalam supply chain dunia, harus terganggu produksinya dan penjualannya. Sehingga gelombang penutupan industri akan terus terjadi, terutama pada industri transportasi, pariwisata, hotel, konstruksi dan otomotif. Sedangkan beberapa industri seperti alat-alat kesehatan, internet dan komunikasi, e-trading, pertanian, serta pengolahan makanan dan minuman, sebaliknya memiliki peluang untuk berkembang pesat.

Perppu Nomor 1/2020

Pemerintah, dengan melihat angka-angka korban yang terus meningkat pesat, perlu melakukan aksi kebijakan yang tidak biasa (extra ordinary). Alasannya sederhana, bahwa perkembangan Covid-19 yang semakin cepat dan kehadiran pemerintah di tengah pusaran Covid-19 suatu kewajiban. Waktu yang tersedia terbatas dan besaran jumlah dana yang harus dibelanjakan sangat besar, dianggap menjadi alasan utama untuk pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Secara umum, perppu ini meliputi perubahan dalam aturan APBN, terutama terkait dengan defisit 3% dari PDB sesuai dengan UU Keuangan Negara, termasuk perubahan dalam belanja yang sudah di mandatkan, realokasi belanja, refocusing belanja, termasuk penundaan belanja transfer jika kondisi harus memaksa. Dengan perppu ini akhirnya dana sebesar Rp405,1 triliun disediakan oleh pemerintah sebagai wujud aksi memerangi Covid-19 dan dampaknya pada sosial ekonomi.

Rincian pendanaan tersebut untuk beberapa program kesehatan sebesar Rp75 triliun termasuk di dalamnya untuk pengadaan alat-alat kesehatan, bantuan untuk rumah sakit rujukan, insentif untuk dokter dan perawat serta pendukung medis. Untuk jaring pengaman sosial disediakan Rp110 triliun, untuk kartu prakerja sebanyak 20 juta orang, kartu sembako diberikan 200.000 per KK, termasuk gratis pembayaran listrik untuk pelanggan 450 kwh dan potongan 50% bagi pelanggan 900 kwh. Untuk dukungan industri yang diharapkan tidak melakukan PHK dan tetap berproduksi sebesar Rp70,1 triliun dalam bentuk pengurangan beban pajak dan bea masuk, termasuk penangguhan cicilan untuk kredit usaha rakyat (KUR). Terakhir, Rp150 triliun, diberikan untuk program-program pemulihan ekonomi nasional.

Biaya yang harus disediakan dalam pembiayaan defisit, juga tidak biasa. Pembiayaan ini berasal dari berbagai sumber seperti: penghematan belanja sebesar Rp190 triliun, realokasi cadangan Rp54,6 triliun, penggunaan SAL Rp45,6 triliun, penerbitan SBN (surat berharga negara) senilai Rp449,9 triliun, serta penambahan pinjaman program sebesar Rp60,4 triliun. Pengelolaan pembiayaan yang cukup besar ini tentu harus dijalankan dengan prinsip kehati-hatian dengan tata kelola yang benar, mengingat tantangan pengelolaan anggaran cukup berat saat ini. Selanjutnya, ada beberapa hal yang masih harus kita lakukan, salah satunya menyiapkan aturan operasional dari perppu tersebut. Memerlukan koordinasi antarkementerian dan parlemen untuk bisa memberikan dukungan yang konstruktif agar perppu ini secepatnya bisa diimplementasikan.

Penguatan UMKM

UMKM biasanya memiliki ketahanan (resilience) saat terjadi masalah ekonomi. Sejarah mencatat bahwa pada saat terjadi krisis 1997-1998 lalu menjadi yang terkuat bahkan tidak terdampak. Sayangnya kini berbeda, pembatasan aktivitas ekonomi hingga pembatasan sosial menyebabkan kemampuan UMKM menghadapi gejolak menjadi sangat terbatas.

Pemerintah melalui Perppu Nomor 1/2020 memberikan stimulus bagi UMKM dan pelaku usaha yang akan diprioritaskan untuk penggratisan PPh 21 bagi para pekerja sektor industri pengolahan dengan penghasilan maksimal Rp200 juta. Selain itu, pemerintah juga membebaskan PPN impor bahan baku untuk wajib pajak. Selain itu, stimulus ekonomi juga diperuntukkan bagi percepatan restitusi PPN pada 19 sektor tertentu untuk menjaga likuiditas pelaku usaha melalui penurunan tarif PPh badan sebesar 3% dari 25% menjadi 22%. Selain itu, pemerintah juga memberikan kebijakan penundaan pembayaran pokok dan bunga untuk semua skema KUR yang terdampak Covid-19 selama enam bulan.

Melalui UKM yang tumbuh dan kuat dalam persaingan, wajah perekonomian Indonesia pasca Covid-19 ini tentu akan berubah. Industri dengan muatan bahan baku lokalnya besar akan dibutuhkan di masa mendatang, termasuk UKM yang sudah memiliki konten teknologi ternyata lebih banyak yang survive. Kita harus berpikir ulang (re-design) terkait pengembangan industri dan UKM ke depan, sektor pendidikan, kebijakan ASN dan reformasi birokrasi.

Saat Covid-19 ini terjadi, perguruan tinggi telah menyelenggarakan kuliah, ujian melalui online dan sampai saat ini tidak ada keluhan. Perkantoran pemerintah juga tetap memberikan layanannya walaupun sebagian ASN harus bekerja dari rumah (work from home/WFH), termasuk perbankan dan industri telah menerapkan proses layanan dan bahkan pengambilan keputusan strategis perusahaan dilakukan melalui online meeting dan berhasil.

Hal ini menunjukkan, telah terjadi disrupsi dalam administrasi organisasi. Ternyata dengan bekerja di rumah, terjadi efisiensi yang luar biasa baik dalam anggaran maupun kecepatan dalam pengambilan keputusan. Tentu ini seperti blessing in disguise, bagaimana format organisasi pemerintah dan swasta yang selama ini belum diketahui bentuknya ke arah mana harus bertransformasi, saat ini ternyata dengan bekerja online formatnya jadi jelas, ke depan e-government maupun layanan masyarakat dengan layanan digital sudah bisa kita lakukan. Kalau itu terjadi, penyesuaian harus secepatnya kita lakukan. Jangan sampai kita kehilangan momentum ini.

Prof Candra Fajri Ananda PhD Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Scroll to Top
Skip to content