DI balik pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 20 tahun terakhir, masih banyak ditemukan anak kekurangan gizi di berbagai daerah. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pesatnya pertumbuhan ekonomi dan perbaikan pembangunan sektor fisik belum berjalan searah dengan perbaikan gizi masyarakat. Oleh sebab itu tak mengherankan jika kini salah satu prioritas pembangunan kesehatan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 adalah perbaikan gizi, termasuk stunting. Sedikitnya 30% anak balita di Indonesia terancam kondisi stunting yang dapat menghambat pertumbuhan fisik maupun perkembangan kemampuan kognitif dan intelektual anak. Kondisi stunting disebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan asupan nutrisi selama 9 bulan saat anak di dalam kandungan ibu atau selama masa pertumbuhan kritis, yaitu 1.000 hari per tama dalam hidup anak. Gawatnya, kekurangan gizi pada masa kanak-kanak berkonsekuensi bukan saja di usia kecil anak, tetapi juga berdampak dalam sepanjang hidupnya.
Hasil penelitian McDonaldCM, dkk (2013) terhadap negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin menunjukkan bahwa tingkat kematian anak yang mengalami stunting dan kekurangan berat badan tiga kali lebih besar ketimbang anak dengan gizi memadai. Pemerintah perlu memberikan perhatian serius terhadap penurunan angka stunting mengingat angka prevalensi stunting Indonesia masih tergolong tinggi. Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017, angka pre valensi stunting di Indonesia mencapai 29,6%. Menurut WHO, masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap kronis bila prevalensi stunting lebih dari 20%. Artinya secara nasional masalah stunting di Indonesia tergolong kronis. Stunting merupakan masalah gizi yang paling banyak ditemukan pada anak Indonesia. Indonesia menduduki pringkat kelima dunia untuk jumlah anak dengan kondisi stunting. Lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun tingginya di bawah rata-rata. Meskipun sekarang proporsi stunting atau balita pendek karena kurang gizi kronis turun dari 37,2% (Riskesdas 2013) menjadi 30,8% (Riskesdas 2018), angka prevalensi stunting masih tergolong tinggi. Melihat gentingnya permasalahan stunting, kini pemerintah telah menjadikan penanggulangan stunting sebagai prioritas nasional. Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin telah menetapkan bahwa mengurangi tingginya angka stunting menjadi prioritas utama Presiden sebagai bagian dari pembangunan sumber daya manusia (SDM) unggul. Pilihan ini antara lain diwujudkan dengan menyiapkan anggaran kesehatan 2020 cukup besar: Rp132,2 triliun, hampir dua kali lipat dari 2015. Anggaran ini salah satunya untuk memastikan angka kasus ke kerdilan (stunting) bisa ditekan sesuai target di mana angka stunting menurun 10% dalam lima tahun mendatang. Stunting dan Kualitas SDM Indonesia Stunting merupakan persoalan pelik yang bersifat multidimensional. Grantham Mc Gregor dan Baker Henningham (2005) menunjukkan bahwa di banyak negara, stunting juga berkaitan dengan rendahnya kemampuan kognitif anak dan performa mereka di sekolah. Stunting memengaruhi kapasitas belajar pada usia sekolah, nilai dan prestasi sekolah, upah kerja pada saat dewasa, risiko penyakit kronis seperti diabetes, morbiditas dan mortalitas, dan bahkan produktivitas ekonomi. Data IFLS dari 13 provinsi di Indonesia (2018) menunjukkan bahwa hampir setengah (48,6%) dari anak umur 7-8 tahun punya kemampuan kognitif kurang. Bayi umur 0-6 bulan yang pendek dan tetap pendek sampai umur 7-8 tahun berisiko 2,8 kali memiliki kemampuan kognitif kurang dari pada anak yang tidak stunting. Assessment yang dilakukan pada 2015 oleh OECD PISA (The Organization for Economic Cooperation and Development Programme for International Student Assessment), suatu organisasi global bergengsi, mengungkap bahwa Indonesia berada di urutan ke-62 dari 70 negara dengan skor 403. Adapun posisi Singapura, Vietnam, dan Thailand berturut-turut: 1,8, dan 54, dengan skor rata-rata berturut-turut, 556, 525, dan 421. Pada pertumbuhan penduduk, stunting bisa menurunkan produktivitas SDM. Ini tecermin dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia di ASEAN masih lebih rendah dari pada Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan setara dengan Vietnam (UNDP, 2018).
Berdasarkan data Human Development Report UNDP 2016, Indonesia memiliki angka IPM yang masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan 4 negara ASEAN lainnya, yakni (5) Singapura (IPM: 0.925); (30) Brunei (IPM: 0.865); (59) Malaysia (IPM: 0.789); (87) Thailand (IPM: 0.740); (113) Indonesia (IPM: 0.689). Ini menunjukkan lambatnya laju peningkatan kualitas pembangunan SDM kita sejak zaman kemerdekaan bila dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, bahkan dengan negara/negara ASEAN. Keseriusan pemerintah dalam menangani permasalahan stunting juga kian dituntut sigap mengingat dampak stunting terhadap perekonomian tidak kecil. Berdasarkan data yang diolah dari laporan World Bank Investing in Early Years Brief, 2016, stunting dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan produktivitas pasar kerja terhambat serta memperburuk kesenjangan/inequality. Catatan Bank Dunia (2016) menyatakan bahwa dalam jangka panjang stunting dapat menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 2-3% dari produk domestik bruto (PDB) per tahun. Jika PDB Indonesia sebesar Rp13.000 triliun, diperkirakan potensi kerugian akibat stunting dapat mencapai Rp260 triliun-390 triliun per tahun. Ketika dewasa, anak yang mengalami kondisi stunting pun berpeluang mendapatkan penghasilan 20% lebih rendah bila dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami stunting. Upaya Penurunan Prevalensi Stunting Berbicara tentang stunting tak lepas dari berbagai perdebatan terkait faktor dominan penyebab stunting. Beberapa pihak menyatakan disebabkan oleh permasalahan ekonomi, selain itu tak sedikit pula yang menyatakan karena permasalahan pendidikan dan kualitas layanan publik. Hingga kini penyebab utama stunting masih menjadi debat publik yang belum usai. Menurut Tuft (2001) dalam The World Bank (2007), stunting disebabkan tiga faktor, yaitu fak tor individu yang meliputi asupan makanan, berat badan lahir, dan keadaan kesehatan; faktor rumah tangga yang meliputi kualitas dan kuantitas makanan, sumber daya, jumlah dan struktur keluarga, pola asuh, perawatan kesehatan, dan pelayanan; serta faktor lingkungan yang meliputi infrastruktur sosial ekonomi, layanan pendidikan dan layanan kesehatan. Adapun menurut Soetjiningsih (1995), tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Selanjutnya dilihat dari sisi alokasi belanja kesehatan, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp123,1 triliun untuk anggaran sektor kesehatan dalam APBN 2019. Alokasi itu naik Rp1,2 triliun bila dibandingkan dengan RAPBN 2019 atau sebesar 5% dari Belanja APBN. Anggaran untuk sektor kesehatan ini naik 14,6% bila dibandingkan dengan APBN 2018. Adapun alokasi dari Rp123,1 triliun itu, untuk pemerintah pusat sebesar Rp89,8 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp33,4 triliun. Adapun untuk sasaran target, 24,8% dialokasikan untuk prevalensi stunting. Meskipun setiap tahunnya alokasi belanja kesehatan mengalami peningkatan, hal itu belum diikuti dengan optimalisasi peningkatan kesehatan pada masyarakat, khususnya terkait dengan penurunan angka prevalensi stunting. Melalui anggaran pemerintah yang cukup besar dan mengingat penurunan angka prevalensi stunting kini menjadi prioritas pembangunan, diharapkan program penurunan angka prevalensi stunting dapat terlaksana tepat sasaran. Berbagai program penurunan angka prevalensi stunting yang telah direncanakan oleh pemerintah pusat harus terintegrasi hingga ke desa mulai dari pembangunan posyandu, penyediaan makanan sehat, pembangunan sanitasi dan air bersih hingga balai pengobatan desa dan lainnya. Selain menggunakan alokasi belanja dana kesehatan, semua itu juga bisa memanfaatkan dana desa. Terlepas dari alokasi dana desa dan K/L yang disalurkan untuk penanganan stunting, pemerintah sejatinya perlu mengawasi dan memastikan program tersebut sudah tepat sasaran. Sebab persoalan stunting tidak bisa diukur dari satu faktor saja untuk dapat mewujudkan generasi premium Indonesia di masa depan. Semoga.
Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya