Ramadan dan Pertumbuhan Ekonomi

Saat ini mayoritas penduduk di Indonesia yang berasal dari kalangan muslim tengah menikmati hiruk-pikuk tradisi budaya dan religi di bulan Ramadan. Bulan Ramadan dianggap sebagai bulan yang mulia dan penuh rahmat bagi manusia dan seisi alam. Dari sisi ekonomi kita juga memiliki beberapa tradisi unik yang berkenaan dengan momentum Ramadan. Kendati Ramadan diidentikkan dengan proses pengendalian hawa nafsu duniawi, fenomena menariknya tingkat konsumsi masyarakat justru sering kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan bulan-bulan lain. Menjelang akhir Ramadan tren konsumsi biasanya akan terus bergerak mencapai klimaksnya seiring adanya tunjangan hari raya (THR) yang diterima hampir seluruh tenaga kerja. Belum lagi dengan aliran zakat/donasi sosial lainnya yang dalam durasi singkat akan mengerek daya beli kaum papa. Jadi selain berkaitan dengan hal-hal mikro seperti perubahan tingkat konsumsi, daya beli, dan berbagai ekspektasi lainnya, Ramadan biasanya juga diasumsikan berkorelasi positif terhadap perkembangan di tingkat makro ekonomi daerah/nasional. Oleh karena itu pemerintah senantiasa optimistis pertumbuhan ekonomi kita akan meningkat tatkala faktor musiman seperti Ramadan dan Lebaran tengah berjalan. Faktor pendorongnya adalah belanja dari kelompok rumah tangga yang diprediksi meningkat signifikan. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GaPMMI) memprediksi penjualan makanan dan minuman selama Ramadan dan jelang Lebaran di tahun 2018 akan meningkat sekitar 20% bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya (mtm). Tahun lalu peningkatannya hanya terealisasi sekitar 5% karena tertekan bersamaan dengan momentum tahun ajaran baru sekolah. Adapun tahun ini dengan momentum Lebaran dan tahun ajaran pendidikan yang lebih berjarak membuat asumsinya berjalan lebih optimistis. Keputusan untuk mengandalkan konsumsi rumah tangga sebagai tumpuan pertumbuhan bukanlah hal yang sepenuhnya keliru. Dalam lima tahun terakhir kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) Indonesia hampir selalu di atas 55%. Terakhir pada kuartal I-2018 kontribusinya mencapai 56,80%. Kendati demikian dalam prosesnya tetap perlu diwaspadai mengingat konsumsi merupakan variabel yang lebih banyak dipengaruhi (dependen) ketimbang memengaruhi (independen). Tingkat konsumsi yang meningkat atau progresif akan mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dan produksi sektor penyedia konsumsi (khususnya pertanian, industri, dan perdagangan). Namun di sisi yang lain konsumsi amat dipengaruhi faktor daya beli, yakni episentrum antara tingkat pendapatan dan inflasi. Ketika tingkat pendapatan diasumsikan konstan, sedangkan inflasi tengah menanjak, daya beli masyarakat akan terpangkas. Karena itu agar ekspektasi pertumbuhan ekonomi tetap terjaga selama Ramadan dan Lebaran, daya beli masyarakat harus tetap dirawat. Pemerintah sendiri baru saja mengabarkan telah menyiapkan anggaran untuk THR dan gaji ke-13 bagi seluruh aparatur sipil negara (ASN). Tidak tanggung-tanggung, anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk THR dan gaji ke-13 mencapai Rp35,7 triliun atau lebih tinggi 68,9% daripada tahun sebelumnya. Hal ini diputuskan untuk memberikan stimulus bagi kalangan PNS, TNI/Polri, pensiunan, dan honorer agar daya belinya meningkat pada masa Ramadan dan Lebaran, ditambah dengan momentum tahun ajaran baru pendidikan. Momentum Transformasi Melalui peristiwa Ramadan dan Lebaran yang terjadi sekali waktu dalam setahun, kita bisa melihat betapa hebatnya kekuatan konsumsi dan ekspektasi ekonomi di dalam negeri. Hanya saja peristiwa ini sulit berjalan panjang karena memang cenderung musiman. Andaikata momentum ini bisa dipertahankan sepanjang tahun, mungkin tidak sulit bagi kita untuk berkhayal pertumbuhan ekonomi nasional akan selalu di atas 5–7% per tahun. Namun seperti yang tadi penulis katakan, tingkat konsumsi lebih banyak berperan sebagai faktor dependen dan sebagian lainnya ditempatkan sebagai ekonomi hilir. Ada hal-hal penting lain yang perlu diperhatikan sebagai hulu ekonomi, yakni fokus pada geliat daya beli masyarakat yang dibentuk oleh tingkat pendapatan dan inflasi. Resep yang pertama ialah dengan menjaga daya saing investasi dan produksi. Keduanya biasa mendorong faktor pendapatan dan inflasi secara sekaligus. Adanya kenaikan investasi normalnya akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang kemudian akan diikuti meningkatnya agregat pendapatan masyarakat.

Nah, untuk mendukung investasi itu sendiri perlu ada beberapa faktor yang diperhatikan, yang pada umumnya meliputi regulasi/birokrasi perizinan, kebijakan fiskal (skema pajak dan belanja pemerintah), ketersediaan bahan baku, kualitas SDM, daya dukung infrastruktur, akses dan kuantitas pasar, serta stabilitas sosial dan politik. Prasyarat yang relatif sama juga dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing produksi. Hanya sedikit perbedaannya, yaitu daya saing produksi lebih banyak menjurus pada persoalan efisiensi, tetapi kurang lebih memiliki arah yang sama pada sisi-sisi yang lain. Jika satu atau beberapa faktor daya saing tersebut tidak dapat disentuh oleh investor/produsen, hal itu dapat mengurangi ekspektasi profit yang ditawarkan. Oleh karenanya setiap daerah/negara perlu berlomba-lomba meningkatkan daya saingnya agar semakin banyak pelaku ekonomi yang memutar uangnya di wilayah tersebut, baik dalam bentuk konsumsi maupun investasi. Adapun keterkaitan antara investasi dan inflasi adalah pengaruh adanya ekspektasi bahwa ketika terjadi peningkatan produksi, hal itu akan berimbas positif terhadap pengendalian inflasi. Inflasi yang dimaksud adalah kategori demand pull inflation yang disebabkan adanya kelangkaan barang/jasa sehingga ketika suplai barang/jasa tersebut mampu memenuhi tingkat kebutuhan pasar, seharusnya tingkat inflasinya berada pada rentang yang rendah. Resep transformasi yang kedua adalah mengedepankan kinerja sektor pertanian dan industri sebagai leading sector. Kecukupan pangan bisa memengaruhi tingkat kualitas dan produktivitas SDM. Hal ini juga bermuara pada level kesejahteraan yang akan diterima oleh tiap individu di dalamnya. Alasan lainnya adalah kedua sektor menjadi lapangan kerja utama di Indonesia hingga saat ini. Sektor pertanian menyerap sekitar 29,68% tenaga kerja di Indonesia pada Agustus 2017, sedangkan sektor industri menopang sekitar 14,05% lainnya. Sektor industri juga dapat berperan sebagai buffer stock, khususnya ketika sektor pertanian mengalami over-supply. Karena biasanya ketika terjadi panen raya dan terjadi penumpukan karena over-supply, harga produk pertanian langsung “pingsan” seketika. Karena itu distribusi produk-produk pertanian perlu dijaga ekuilibirumnya. Pada saat produktivitas, faktor harga, dan tingkat pendapatan kedua sektor diperhatikan, suplai pangan dan hasil-hasil industri bisa jadi juga akan meningkat. Dalam studi kasus Ramadan dan Lebaran, komoditas bahan makanan beserta industri makanan dan minuman biasanya yang paling atraktif terhadap perkembangan inflasi. Hal ini menjadi cukup wajar mengingat konsumsi makanan dan minuman (serta pakaian) relatif paling banyak meningkat pada masa ini. Resep yang ketiga adalah mengendalikan daya beli dengan menjaga efisiensi pasar melalui pengembangan infrastruktur dan penguatan sistem distribusi (transportasi). Keduanya memegang peranan penting karena sering kali meningkatkan biaya transaksi. Biaya transaksi itu sendiri merupakan biaya tambahan yang “harus” ditanggung oleh produsen/konsumen karena tidak efisiennya skema kelembagaan. Misalnya biaya yang timbul karena kemacetan, pungutan liar (pungli), atau rantai pemasaran yang harus melibatkan banyak pelaku. Akibat tingginya biaya transaksi tersebut, tingkat inflasi kita terkadang sulit dikendalikan. Hal ini belum ditambahkan dengan inflasi yang dihasilkan dari adanya impor barang dan jasa (inflasi kiriman). Seperti yang sekarang ini terjadi, kurs rupiah yang melemah membuat harga produk-produk impor menjadi meningkat. Alhasil produksi/konsumsi yang menggunakan produk impor otomatis biayanya juga akan membengkak. Nah jika ingin perekonomian kita lebih stabil lagi, daya tawar rupiah harus ditingkatkan. Misalnya dengan mengembangkan industri substitusi impor untuk mengurangi ketergantungan terhadap distribusi luar negeri serta meningkatkan kinerja ekspor yang nantinya berperan terhadap penguatan devisa.

Kinerja ekspor itu sendiri sedikit banyak juga dipengaruhi oleh kondisi infrastruktur karena biaya mobilitas barang/jasa akan diagregatkan dengan biaya-biaya lain sebagai komponen daya saing harga. Resep transformasi yang keempat adalah berharap pada peran pemerintah dan BI-OJK untuk menjaga stabilitas perekonomian melalui kebijakan fiskal dan moneter. Peran ketiga lembaga tidak bisa kita kesampingkan karena memegang sumber daya kekuasaan dan keuangan negara. Pemerintah berperan melalui alokasi kebijakan dan belanja publik. Dalam jangka panjang pemerintah bisa mendukung efisiensi dan produktivitas pasar melalui proyek-proyek pembangunan, baik proyek yang bersifat fisik (seperti infrastruktur) maupun nonfisik (pemberdayaan melalui pendidikan, kesehatan, keterampilan). Dalam jangka pendek kebijakan pemerintah juga bisa berdampak langsung melalui proyek-proyek pembangunan yang menyerap banyak tenaga kerja. Adapun otoritas moneter yang dikomandoi BI dan OJK berpeluang meningkatkan efisiensi dan produktivitas pasar melalui kinerja sektor keuangan. Pemerintah (khususnya pemerintah daerah) bersama BI dan OJK juga berperan besar dalam inflasi karena tergabung dalam Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Nah melalui TPID inilah ketiganya bisa memengaruhi tingkat keseimbangan supply-demand pasar, bisa melalui stimulus keuangan maupun fasilitas yang menjamin distribusi agar mampu berjalan secara efektif dan efisien. Misalnya BI dan OJK perlu mengawasi bunga kredit yang akan tergeser naik karena 7days Repo Rate (7DRR) yang dalam beberapa waktu yang lalu naik menjadi 4,50%. Tujuan kenaikan 7DRR sendiri adalah agar para investor asing lebih lama menahan uangnya di Indonesia. Akan tetapi hal tersebut perlu segera diputar untuk membayar bunga investasi/deposito. Nah, efeknya jangan sampai membuat skema bunga malah menambah beban para pelaku ekonomi sehingga produktivitasnya terhambat. OJK mengawasi khususnya kredit konsumsi, jangan sampai terlalu tinggi. Adapun BI mengawasi sistem pembayaran, khususnya melalui sistem online yang akhir-akhir ini semakin marak. Jangan sampai problem complaint dari konsumen tidak terkendali agar sistem pembayaran tidak justru merugikan masyarakat. Karena nanti dinamikanya akan segera menyasar pada stabilitas pasar keuangan. Dari fenomena selama bulan Ramadan ini saat seketika muncul banyak pelaku ekonomi, khususnya yang berskala mikro dan kecil yang terlibat dalam produksi barang dan jasa, kita tentu berharap pola ini bisa diadopsi agar tidak sekadar musiman. Seperti di lingkungan tempat tinggal penulis, banyak pelaku yang ikut menyemarakkan pasar-pasar konsumsi mengingat permintaan yang menggeliat selama Ramadan. Besar harapan dari penulis agar para pelaku yang sementara bersifat musiman ini bisa kita rawat agar dapat terus berproduksi.

Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

Scroll to Top
Skip to content