Yaa Ramadhan Karim, telah memasuki hari ke-11. Tentu kita harus bersyukur masih diberikan kesempatan dan kemampuan untuk menjalankan ibadah yang sudah ditunggu muslim sedunia ini.
Sayangnya, keberadaan pandemi Covid-19 telah mengubah wajah Ramadhan kali ini. Pembatasan sosial (physical distancing) dan karantina wilayah membuat beberapa aktivitas Ramadan seperti tarawih berjamaah atau buka bersama dengan banyak orang terpaksa hilang.
Tak hanya bagi umat muslim di Indonesia, perubahan suasana Ramadhan juga dirasakan oleh seluruh umat muslim dunia. Berbagai kebijakan keagamaan di dunia harus mengambil langkah berbeda yang memengaruhi kehidupan “baru” Ramadan tahun ini.
Pemerintah melalui Surat Edaran Nomor 6/2020 Kementerian Agama RI memberikan panduan ibadah Ramadhan dan Idul Fitri 1431 H di tengah pandemi Covid-19. Surat edaran tersebut dikeluarkan sebagai panduan beribadah yang sejalan dengan syariat Islam sekaligus mencegah, mengurangi penyebaran, dan melindungi masyarakat dari risiko penularan Covid-19. Kini masyarakat harus menyesuaikan aktivitas Ramadhan dengan situasi baru tanpa harus mengurangi esensi dan nilai ibadah di bulan mulia ini.
Ekonomi Ramadhan vs Pandemi
Selama ini Ramadhan selalu menjadi momen penting bagi pendorong pertumbuhan ekonomi melalui kontribusinya dalam kenaikan konsumsi rumah tangga, terutama pangan dan kebutuhan lainnya. Permintaan pangan pada bulan Ramadan dan jelang Lebaran cenderung meningkat yang akhirnya mendorong tingkat konsumsi. Ada kecenderungan jika makna bulan puasa bergeser dari bulan puasa (fasting) menjadi bulan berpesta (feasting) karena tradisi.
Biasanya bulan Ramadhan identik dengan momen munculnya pedagang dadakan yang tak lepas dari tradisi buka puasa bersama teman lama, kolega, dan sanak saudara yang sering dijadikan sebagai ajang reuni kecil. Selain itu, Ramadan juga identik dengan tradisi berbagi makanan hampir di setiap masjid. Berbagai tradisi tersebutlah yang menyebabkan terjadi peningkatan konsumsi masyarakat.
Ramadhan juga biasanya sukses meramaikan berbagai pusat perbelanjaan modern dan pasar tradisional. Tak jarang karena peningkatan animo belanja masyarakat besar tersebut direspons oleh berbagai toko dengan penambahan persediaan barang dan menunda jam tutupnya. Puncaknya menjelang akhir Ramadan, di mana antusiasme masyarakat untuk berbelanja kian meningkat karena ada tunjangan hari raya (THR) hampir bagi seluruh pekerja, serta ada aliran zakat/donasi sosial lainnya yang seketika dapat mendorong daya beli masyarakat. Berbagai fenomena tersebut merupakan gambaran sederhana bahwa pada Ramadan geliat ekonomi cenderung meningkat yang akhirnya menopang perekonomian nasional.
Ironisnya, gambaran fenomena “antusiasme belanja” di momen Ramadhan kini tak akan terjadi. Munculnya pandemi saat Ramadan menghadapkan masyarakat pada kenyataan yang sangat berkebalikan dari biasanya. Bukan tunjangan hari raya (THR) yang didapat karyawan secara besar-besaran, justru ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK)-lah yang kini menghantui para pekerja. Wabah Covid-19 telah menjadikan hampir semua sektor bisnis di Indonesia terguncang bahkan tak sedikit pula yang akhirnya menyerah. Jumlah karyawan yang mengalami PHK dan dirumahkan menurut Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) per 20 April lalu mencapai 2,8 juta orang akibat pandemi Covid-19.
Lebih dari setengahnya berasal dari sektor formal, yakni 1,54 juta orang, dan sektor informal yang terkena PHK sebanyak 538.000 pekerja. Jumlah perusahaan yang melakukan PHK dan merumahkan karyawannya tercatat sebanyak 116.370 perusahaan. Angka itu terdiri atas 84.000 dari perusahaan di sektor formal dan 31.000 perusahaan di sektor informal. Angka PHK diperkirakan mencapai puncaknya pada Juni.
Atas dasar pertimbangan tersebut, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang tidak biasa (extra ordinary) mengingat ancaman dampak seperti yang di atas. Saat ini pemerintah telah menyiapkan dana sekitar Rp150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional. Jumlah tersebut bisa dikatakan kurang atau cukup, tergantung seberapa dalam dampak pandemi ini pada perekonomian. Kita tentu berharap bahwa usaha pencegahan kesehatan saat ini, berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), bisa berhasil dan mampu menekan jumlah penderita baru dan meningkatkan jumlah yang bisa disembuhkan, aamiin.
Memetik Hikmah Perubahan
Pandemi telah memaksa perubahan pada setiap individu, perusahaan, pemerintah, hingga berbagai organisasi yang ada. Perubahan menjadi kunci utama untuk bertahan dan tetap produktif di tegah pandemi. Pembatasan sosial memaksa berbagai instansi (swasta maupun pemerintah) menerapkan pola bekerja dari rumah atau work from home(WFH). Bagi instansi pemerintah, kebijakan ini menjadi hal baru yang tidak pernah terbayang sebelumnya.
Berawal dari paksaan kondisi, nyatanya kegiatan WFH di sektor pemerintah dapat dilakukan melalui daring secara berkesinambungan dan mampu menghasilkan output yang rata-rata tetap tercapai sesuai standar. Bagi dunia bisnis, adaptasi sangat penting dan kunci dalam menghadapi krisis. Kemampuan menggeser proses bisnis secara cepat serta mendesain produk baru yang dibutuhkan masyarakat menjadi kunci bertahan selama pandemi.
Bagaimana dengan zakat? Pengumpulan dan pembagiannya tentu juga harus berubah. Perubahan tradisi dari pemberian zakat offline kini mulai berubah menjadi zakat online. Sejatinya, penyaluran zakat tanpa tatap muka sudah dilakukan satu dekade terakhir, namun kini berubah menjadi media utama penyaluran zakat untuk menjaga physical distancing. Para lembaga zakat, penyedia platform dari perbankan, perusahaan financial technology (fintech) sampai e-commerce pun kini menyediakan pembayaran zakat secara online.
Saat ini teknologi informasi menjadi motor utama berbagai aktivitas manusia. Pemanfaatan teknologi telah terbukti mampu meningkatkan efisiensi kinerja dan aktivitas manusia. Pemerintah melalui Ketua Gugus Tugas Covid-19 menyebutkan bahwa situasi normal diprediksi akan terjadi pada awal Juli 2020.
Jika estimasi tersebut sesuai, maka sebaiknya setiap individu, organisasi, dan pemerintah tampil dengan “gaya baru” atas hikmah yang didapat selama masa pandemi. Bila kita dapat menyerap dan menerapkan berbagai hal positif yang kita dapat selama masa karantina, maka akan sangat menguntungkan. Wabah ini juga telah mengubah pola pikir masyarakat untuk hidup sehat, bahu-membahu, saling membantu dalam bentuk tenaga maupun donasi, hingga kemajuan pesat dalam hal bekerja dan belajar melalui teknologi merupakan beberapa hal positif yang patut dipertahankan pascapandemi.
Semangat Ramadan tentu seharusnya menjadi semangat untuk berubah, menjadi orang yang bertakwa, lebih bertanggung jawab, lebih jujur, lebih rajin, lebih kuat komitmen. Tentu semua nilai-nilai kebaikan ini, akan memudahkan negara kita menjadi Indonesia yang berbeda setelah pandemi dan tentu itu yang kita harapkan semuanya. Wallahu’alam
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia