KEBIJAKAN desentralisasi fiskal di Indonesia melalui sistem transfer ke daerah telah berlangsung hampir dua dekade. Sejak diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal, dana transfer ke daerah dan dana pusat yang mengalir ke daerah (termasuk Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan) meningkat cukup tajam dari tahun ke tahun.
Kenaikan dana transfer ke daerah merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, mengurangi ketimpangan, dan mendorong laju perekonomian. Data menunjukkan bahwa pada 2002 desentralisasi fiskal, transfer ke daerah berupa Dana Perimbangan hanya Rp94,7 triliun, namun pada 2014 Dana Perimbangan bertambah menjadi Rp487,9 triliun atau naik 415,2%.
Selanjutnya sejak 2015, transfer ke daerah berupa Dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa dialokasikan sebesar Rp623,1 triliun dan terus mengalami peningkatan hingga tahun ini mencapai Rp795,5 triliun.
Selain sisi penerimaan pemerintah yang cukup besar, hal yang lebih krusial adalah bagaimana pemerintah (daerah) juga membelanjakan anggarannya. Apalagi, jika diperhatikan bahwa kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini di dominasi oleh sektor belanja. Baik itu belanja pemerintah (pusat dan daerah) maupun belanja rumah tangga.
Konsumsi rumah tangga memiliki kontribusi lebih dari 50% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Di sisi lain, kebijakan fiskal di Indonesia juga masih menjadi penyokong utama dalam pembangunan, termasuk mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya di masa pandemi seperti saat ini.
Sayangnya, peran belanja pemerintah di Indonesia masih belum begitu besar. Kontribusinya tidak lebih dari 10% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Belum optimalnya peranan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi bersumber dari masalah di sisi pendapatan dan belanja. Target-target penerimaan perpajakan, yang menjadi sumber utama pendapatan negara, tidak terealisasi maksimal, bahkan cenderung melambat.
Di sisi lain, struktur belanja pemerintah masih didominasi belanja rutin, yang tidak produktif. Belanja untuk stimulus perekonomian, terutama belanja modal, mulai meningkat, namun belum cukup memenuhi kebutuhan perekonomian untuk tumbuh tinggi.
Sementara itu, realisasi belanja modal relatif rendah, baik di pusat maupun di daerah. Sejatinya, belanja yang sehat adalah belanja yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan. Sebaliknya, belanja yang kurang baik adalah belanja yang menyebabkan kebocoran pada perekonomian (leakages), termasuk di dalamnya belanja untuk kepentingan birokrasi atau belanja yang tidak mampu menarik (attractive) investasi.
Perbaikan Perencanaan dan Penganggaran Mekanisme anggaran dapat dilihat berdasarkan rangkaiannya yakni proses perencanaan, penganggaran, Monitoring dan Evaluasi (Monev). Artinya, kualitas anggaran sangat tergantung pada kualitas perencanaan yang dimiliki.
Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang dilakukan dengan tetap mendasarkan pada data dan informasi yang akurat, valid, dan akuntabel dengan tetap mempertimbangkan sumber daya dan potensi yang dimiliki.
Dalam proses menyusun perencanaan, tentunya dilakukan dengan terlebih dahulu mengkaji indikator-indikator perkembangan di daerah di antaranya Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan beberapa indikator lainnya, terutama kondisi keuangan daerah.
Keberhasilan pelaksanaan pembangunan masyarakat sangat bergantung pada peran pemerintah dan masyarakat, di mana keduanya harus mampu menciptakan sinergi. Tanpa melibatkan masyarakat, pemerintah tidak akan dapat mencapai hasil pembangunan secara optimal.
Pentingnya keterlibatan masyarakat di dalam penyusunan perencanaan pembangunan sangat ditekankan dalam UU No 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Proses perencanaan yang telah berjalan selama ini sejatinya telah melibatkan banyak pelaku atau stakeholder. Setidaknya stakeholders di bidang ekonomi, sosial dan budaya, serta politik (dari level Desa, Kecamatan, maupun Kabupaten/Kota) telah turut serta dalam proses perencanaan.
Sayangnya, rutinitas setiap tahun tersebut sering kali membuat peran penting stakeholder ini hanya menjalankan rutinitas atau ritual perencanaan sehingga masih jauh dari kualitas. Hal itu bisa dilihat dari seberapa banyak usulan dari bawah (bottom up) yang nyatanya tidak bisa direalisasikan dan harus diganti. Oleh sebab itu, kejadian tersebut pada akhirnya mendorong stakeholders semakin enggan hadir dalam kegiatan Musrenbang Desa/Kecamatan.
Perencanaan dan penganggaran daerah merupakan cermin dari efektivitas pengelolaan keuangan daerah yang baik untuk menunjang keberhasilan desentralisasi fiskal. Secara umum, penganggaran dari penetapan pagu, termasuk Analisis Standar Biaya (ASB), telah ditetapkan dengan jelas oleh Kementerian Keuangan.
Namun, sering kali berbagai perubahan atau modifikasi yang dilakukan dapat mendorong terjadinya kesalahan. Pada dasarnya, perencanaan dan penganggaran adalah dua kesatuan yang tak dapat dipisahkan, di mana keduanya memiliki korelasi yang erat untuk saling memengaruhi.
Artinya, meskipun mekanisme penganggaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat telah cukup baik, apabila perencanaan di daerah masih buruk, dapat dipastikan bahwa penganggarannya juga akan menghasilkan hal yang sama.
Monitoring dan Evaluasi Penganggaran Sebagai upaya pemerintah pusat dalam monitoring penganggaran, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selalu melakukan audit secara rutin setiap tahun. Selama dua dekade otonomi daerah berjalan, BPK menyebutkan bahwa berdasarkan tingkat pemerintahan, opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) telah dicapai oleh seluruh laporan keuangan pemerintah provinsi di Indonesia.
Opini WTP juga dicapai oleh 364 dari 415 pemerintah kabupaten, dan 87 dari 93 pemerintah kota. Pencapaian opini tersebut telah melampaui target kinerja keuangan daerah bidang penguatan tata kelola pemerintah daerah/program peningkatan kapasitas keuangan pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019.
Pada semester I/2020, BPK telah memeriksa 541 dari 542 (99%) Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2019. Secara keseluruhan, pada semester I/2020, hasil pemeriksaan BPK mengungkapkan bahwa opini WTP atas 485 (90%) LKPD, opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas 50 (9%) LKPD, dan opini Tidak Menyatakan Pendapat (disclaimer) atas 6 (1%) LKPD. Jumlah opini WTP pada 2019 mengalami peningkatan dibandingkan dengan LKPD tahun 2018 yaitu 82%.
Melalui proses monitoring dan evaluasi yang kredibel, dan itu bisa dilihat dari output pemeriksaan BPK, semakin tahun semakin baik. Tentu, kita berharap outcome dari seluruh pengelolaan keuangan tersebut mampu mendorong pencapaian pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan, berkurangnya pengangguran dan kemiskinan serta pengembangan kualitas birokrasi yang lebih baik.
Jika ternyata outcome masih belum tercapai secara optimal, kita perlu berharap bahwa usaha-usaha lain di luar pengelolaan keuangan perlu kita perbaiki secara terus-menerus. Hal ini sesuai dengan makna pembangunan itu sendiri, yakni proses perubahan secara terus-menerus, dan itulah yang terjadi pada proses pembangunan yang kita jalani saat ini. Perjuangan perlu terus kita lakukan untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi, semoga.
Prof Candra Fajri Ananda, PhD