HAMPIR seluruh dunia, dimana umat Islam berada, saat ini sedang merayakan hari raya kurban. Hari Raya ini berbeda dengan Idul Fitri yang diawali dengan puasa ramadan selama sebulan penuh, hari raya kurban dibarengi dengan kegiatan Haji yang berpusat di dua kota suci umat Islam, Makkah dan Madinah. Hari raya ini sebagai penghargaan atas tauladan keikhlasan dan ketaatan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail atas perintah-Nya. Pengorbanan ini lah, yang seharusnya bisa menjadi tauladan dari kehidupan keseharian kita, untuk terus memberikan peranannya dalam menyelesaikan problematika sosial di sekitar kita.
Suasana kurban saat ini, menjadi sangat spesial bagi masyarakat, karena perayaannya dijalani dalam suasana pandemi Covid-19. Beriringan dengan meningkatnya jumlah pasien positif yang masih terus bertambah, dampak ekonomi yang diakibatkan juga semakin besar. Kalau kita perhatikan di berbagai negara, hampir sebagian besar negara berusaha memerangi pandemi ini dengan mengeluarkan kebijakan fiskal yang extraordinary. Mengingat sampai saat ini belum ada yang berani memastikan kapan pandemi ini akan berakhir. Ketidakpastian ini, menyebabkan pemerintah dimanapun perlu memanage kemampuan fiskalnya dengan baik dan tetap terus berjaga akan kemungkinan terburuk. Pemerintah Indonesia sendiri, telah berusaha dengan sangat ekstra untuk pembiayaan penanganan Covid-19 ini, sehingga defisit anggaran yang harusnya di angka 3%, harus dilonggarkan sampai melampaui standar yang sudah ditetapkan.
Dari berbagai berita yang dikumpulkan bisa diperkirakan jumlah hewan kurban yang disembelih pada perayaan kurban saat ini, terus bertambah secara signifikan. Dari sisi fikih kurban, angka hewan kurban yang meningkat secara signifikan ini, menggambarkan ketaatan umat akan perintah Tuhan dan ini tentu membawa pada kebersamaan “rasa” di masyarakat. Hal ini akan mendorong munculnya rasa kepedulian dan empati pada sesama yang sangat dibutuhkan saat ini. Saat manusia tidak berdaya, sebagian besar mereka secara naluri akan kembali kepada penciptanya.
Dari sisi sosial, betapa semangat “memberi” yang muncul dimana-mana saat ini, perlu dilihat sebagai modal sosial yang penting sebagai alternatif pembiayaan pembangunan saat ini. Dengan semakin besar pengeluaran masyarakat dalam bentuk pembelian hewan kurban maupun amalan lain seperti shodaqoh, zakat dan infaq, secara langsung akan mendorong konsumsi rumah tangga yang lebih tinggi. Selain itu, dana yang selama ini ngendon di perbankan atau sektor keuangan lainnya, karena kebutuhan akan hewan kurban, akhirnya harus dicairkan dan dibelanjakan. Dengan kata lain, sektor riil mendapatkan kucuran dana segar yang memang sangat diperlukan saat ini.
Efek lainnya adalah, adalah meningkatnya jumlah pemudik yang pada lebaran Idul Fitri tidak bisa mudik karena pelarangan oleh pemerintah dan MUI. Tentu saja, saat tidak ada pelarangan untuk mudik, maka bisa dipastikan jumlah pemudik akan meningkat secara signifikan. Pada kondisi normal, jumlah pemudik diperkirakan sekitar 66.000 orang, sedangkan di era saat ini, diperkirakan sebesar 99.000 orang. Tentu saja, ini akan mendorong geliat perekonomian di daerah.
Seorang sahabat menunjukkan angka yang fantastis, betapa besar nilai ekonomi dari perayaan kurban saat ini. Jika jumlah penduduk muslim Indonesia sebesar 230 juta dan 8-10% penduduk muslim melakukan kurban di era pandemi ini, dengan harga kambing sebesar Rp2,5-4,5 juta per ekor, maka potensi ekonomi yang muncul sebesar Rp70 triliun sampai dengan Rp107 triliun yang melibatkan 2,3 juta hewan ternak atau setara dengan 583 juta ton daging. Padahal kita juga tahu, bahwa pengeluaran kurban ini juga mendorong sektor lainnya juga bergerak, seperti transportasi, bumbu, freezer, hotel dan restaurant, terutama saat mereka harus mudik.
Norma Religius dalam Pengawasan Dalam hal perubahan dalam APBN secara umum, di aspek pendapatan negara, Belanja Negara, dan Pembiayaan. Pada pendapatan negara, pemberian insentif pada dunia usaha diperpanjang sd Desember 2020 yang berupa, PPh 21 ditanggung pemerintah, pembebasan PPh 22 dan PPN Impor (Alkes) serta percepatan restitusi PPN. Pada sisi Belanja negara, menampung tambahan belanja sekitar Rp125 triliun dari Perpres Nomor 54/2020, antara lain Subsidi UMKM dan IJP UMKM, perpanjangan Bansos Tunai dan Diskon Listrik, Tambahan DID dalam rangka PEN, Belanja penanganan Covid-19 lainnya. Sementara dari sisi pembiayaan menampung kebijakan pembiayaan investasi, PMN, Penempatan dana, penjaminan dalam rangka pemulihan ekonomi nasional.
Komitmen pemerintah dalam penanggulangan Covid-19 yang sangat tinggi ini, dapat dilihat dari belanja pemerintah yang terus meningkat. Bagaimana mendorong para pelaksana kebijakan untuk menjalankan program pemulihan ini dengan motivasi tinggi dan dijalankan dengan bersih dan benar.
Akan sangat baik, jika pemerintah merangkul tokoh-tokoh agama, termasuk didalamnya lembaga resmi seperti MUI, bahkan Kyai Ma’ruf wakil presiden kita, sebelumnya adalah ketua MUI, atau tokoh agama yang ada, untuk terus aktif menyuarakan program pemulihan ekonomi nasional yang saat ini dijalankan. Pengawalan pemulihan melalui pendekatan religi, tentu memiliki efek yang berbeda, terutama jika dikaitkan dengan kewajiban muslim untuk terus memberikan sebagian rezekinya kepada sesama. Secara makro, semakin tinggi belanja masyarakat, akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi jika belanja yang dilakukan pada produk-produk dalam negeri dan produk UMKM.
Hari raya kurban saat ini, seharusnya menginspirasi kita, untuk membawa nilai-nilai agama di dalam pelaksanaan kebijakan yang kita buat. Semangat bernegara dan beragama seharusnya memang menjadi kekuatan kohesif yang perlu dibangun secara terus menerus, untuk dipupuk sebagai modal sosial yang kita perlukan untuk membuat kebijakan yang akseptabel, dan efisien dalam pencapaian, semoga.
Prof Candra Fajri Ananda PhD Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia