HANTAMAN dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi nasional kini sedang berlangsung dan kita belum bisa memastikan sampai seberapa dalam dampak yang terjadi. Laju ekonomi kuartal I 2020 tercatat 2,97% atau terkontraksi 2,41% dibanding kuartal IV 2019. Bahkan, pada kuartal II kontraksi ekonomi makin dalam hingga minus 5,32%. Penurunan ekonomi selama pandemi terjadi karena banyak aktivitas ekonomi, terutama perdagangan, pariwisata yang tersendat. Kerapuhan sektor riil yang terjadi saat ini, perlu diantisipasi dengan baik, terutama kebijakan yang sifatnya protektif dan stimulatif untuk mencegah perembetan pada sektor lain terutama sektor keuangan dan perbankan.
Hantaman terhadap sektor perbankan sebenarnya telah terjadi di beberapa negara di ASEAN jika dilihat capaian pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah dimana hal tersebut mengakibatkan perlambatan pertumbuhan kredit dan berujung pada penurunan profitabilitas industri perbankan. Fitch Ratings menilai, bank-bank di Thailand dan Singapura yang bergantung pada pariwisata, merupakan sektor yang paling terpengaruh oleh Covid-19. Ketergantungan Thailand pada pariwisata berimbas pada sektor UKM yang menyumbang 33% portofolio kredit perbankan. Selain itu, sektor perbankan di Vietnam juga mengalami keterpurukan akibat berkurangnya pemasukan dari sektor pariwisata, terganggunya rantai pasok manufaktur serta melemahnya permintaan ekspor yang pada akhirnya membebani kualitas aset perbankan di Vietnam. Disisi lain, perbankan di Singapura juga telah terdampak Covid-19 lantaran 24% kredit mereka mengalir ke berbagai perusahaan asal China yang juga sedang mengalami gangguan pandemi.
Perbankan Indonesia di Masa Pandemi
Perbankan merupakan jantung bagi kelancaran aliran darah aktivitas ekonomi di suatu perekonomian. Perbankan mempunyai peranan yang sangat strategis, salah satunya sebagai lembaga intermediasi aliran dana dari pemerintah ke masyarakat atau sebaliknya. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat sangat penting untuk dijaga guna meningkatkan efisiensi intermediasi serta mencegah terjadinya bank runs and panics. Kepercayaan masyarakat terhadap bank juga diperlukan karena bank tidak memiliki uang tunai yang cukup untuk membayar kewajiban kepada seluruh nasabahnya sekaligus.
Pandemi yang tak kunjung usai telah membawa lembaga Pemeringkat Internasional, Moody’s Investors Service menurunkan outlook perbankan nasional dari stabil menjadi negatif untuk 12-18 bulan ke depan. Hal itu seiring kondisi ekonomi yang kian melemah. Tim analis Moody’s menyatakan kualitas kredit akan menurun meski restrukturisasi dan penurunan suku bunga kredit bisa memberikan sedikit dukungan. Meski demikian, tebalnya permodalan dapat menjadi penawar untuk menghadapi risiko yang meningkat saat ini.
Selama tiga tahun belakangan, rasio kecukupan modal alias CAR perbankan memang tercatat stabil di atas 20%, lebih besar dibandingkan kondisi saat krisis global 2008 yang di kisaran 16-17%. Per Januari 2020, CAR nyaris mencapai 23%. Meski demikian, tekanan pada profitabilitas perbankan akan sulit dihindari. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkirakan laba perbankan hingga akhir tahun akan menyusut sekitar 30% – 40% dibandingkan dengan tahun lalu. Penurunan keuntungan perbankan telah terlihat pada kuartal II 2020. Sepanjang April hingga Juni 2020, laba bank sebelum pajak tercatat turun 19,8% dari tahun lalu.
Anjloknya keuntungan tersebut lantaran banyaknya restrukturisasi kredit akibat Covid-19. Berdasarkan data OJK, tingkat kredit macet perbankan mengalami kenaikan 3,22%. Angka tersebut naik dari posisi Juni yang mencapai 3,1%. Meski terjadi penurunan laba dan peningkatan kredit macet, namun data OJK menunjukkan bahwa likuiditas perbankan Indonesia cukup memadai untuk dapat menyalurkan kredit guna mendukung pertumbuhan ekonomi. OJK mencatat hingga Agustus 2020, total Alat Likuid (AL) perbankan mencapai Rp1.913 triliun. Artinya, hingga saat ini sektor jasa keuangan di Indonesia masih memiliki kapasitas yang memadai, baik dari sisi permodalan maupun likuiditas, untuk menyalurkan kredit atau pembiayaan yang dapat mendukung target pertumbuhan ekonomi dari pemerintah.
Di balik ketahanan sektor perbankan secara umum di Indonesia, namun sejatinya tidak semua bank memiliki ketahanan yang sama di tengah wabah Covid-19. Ketahanan individu internal bank dengan aset kecil dan tidak sistemik, serta bank dengan tata kelola yang buruk akan rentan rapuh dalam menghadapi situasi saat ini. Pada sisi modal, bank dengan aset terbatas tidak memiliki permodalan yang besar, sementara dari rasio Dana Pihak Ketiga (DPK) bank kecil hanya berpusat pada beberapa deposan. Akibatnya, risiko likuiditas tersebut terjadi karena adanya penurunan rasio DPK dan cash inflow pada individu bank, di mana risiko likuiditas tersebut dapat meningkat selama masa pandemi. Ancaman Covid-19 terhadap likuiditas bank juga rentan bagi bank yang memiliki tata kelola yang buruk. Good Corporate Governance yang menerapkan prinsip–prinsip Keterbukaan (Transparency), Akuntabilitas (Accountability), Pertanggungjawaban (Responsibility), Independensi (Independency), dan Kewajaran (Fairness) tersebut kini di masa pandemi mampu memperkuat ketahanan kondisi internal Bank dalam menghadapi lesunya ekonomi nasional.
Efisiensi Perbankan
Tidak ada yang menyangka kondisi ekonomi sekaligus industri perbankan akan menghadapi kondisi seberat ini akibat pandemi Covid-19. Kendati demikian, asa untuk pertumbuhan yang agresif masih tetap terjaga. Sejak April hingga Agustus 2020 pemerintah, Bank Indonesia (BI), OJK, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tak henti-hentinya menggodok insentif, relaksasi, dan mendorong batas wewenangnya untuk dapat terus menjaga stabilitas sekaligus mendongkrak kinerja perbankan.
Peran bank sebagai lembaga intermediasi, khususnya dalam menyalurkan kredit, kini sangat diperlukan oleh masyarakat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43/2020 yang merevisi PP Nomor 23/2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Covid-19, kini semua bank sehat bisa mengakses dan menyalurkan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pemerintah melakukan penempatan dana senilai Rp123,46 triliun di perbankan sebagai stimulus pemulihan usaha debitur UMKM yang terdampak pandemi Covid-19. Kebijakan tersebut diharapkan bisa meningkatkan penyaluran kredit perbankan serta menjadi penyangga likuiditas bank pelaksana. Meski demikian, perbankan tetap harus bertanggungjawab dan disiplin dalam melepas kredit ke masyarakat.
Di masa pandemi, sektor perbankan harus memiliki daya tahan baik untuk bertahan agar dapat mendukung program pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kunci utama yang kini perlu dijaga oleh setiap bank adalah dari segi likuiditas dan penyaluran kredit. Mengingat penekanan program pemerintah untuk mendorong konsumsi rumah tangga, maka peran perbankan untuk mendorong sektor riil semakin nyata dan krusial. Oleh sebab itu, dalam tantangan perekonomian yang penuh ketidakpastian serta tekanan yang berat, peran OJK dalam mengawal dunia perbankan sangat krusial untuk mengawal perekonomian Indonesia tetap bertahan dan pada saatnya mampu melakukan jump start mengejar langkah yang tersendat karena pandemi, semoga.
Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia