SEJAK dua dekade terakhir ini Indonesia telah menjalankan hubungan pembagian tugas antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Babak baru era desentralisasi di Indonesia dimulai setelah reformasi tahun 1998 ditandai dengan munculnya UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Salah satu hubungan kekuasaan yang berubah melalui kedua UU tersebut adalah desentralisasi yang berarti penyerahan beberapa kewenangan dari pemerintahan pusat ke daerah. Desentralisasi merupakan suatu konsep yang kompleks yang melibatkan pergeseran kekuasaan, politik, fiskal, dan kewenangan terhadap tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Desentralisasi juga merupakan suatu alat kebijakan untuk menyerahkan sebagian kekuasaan, kewenangan, dan sumber daya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam rangka mencapai keadilan, efisiensi, dan akuntabilitas yang lebih baik.
Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya bertujuan untuk memberikan pelayanan umum yang lebih baik. Oleh sebab itu desentralisasi fiskal yang berjalan tepat dipastikan dapat meningkatkan pemerataan antardaerah. Desentralisasi fiskal menganut prinsip money follows function. Artinya setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut.
Sebagai negara dengan luas wilayah yang besar, disparitas (kesenjangan) fiskal daerah, baik kesenjangan vertikal (antara pusat dan daerah) maupun kesenjangan horizontal (antardaerah) adalah sebuah keniscayaan. Oleh sebab itu pemerintah pusat memberikan transfer kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan untuk mengurangi kesenjangan tersebut. Tujuan pemberian dana perimbangan adalah untuk mengisi celah fiskal antardaerah dan mengurangi ketimpangan fiskal antardaerah sekaligus. Meski demikian kini keberhasilan desentralisasi di Indonesia masih menjadi sebuah pertanyaan besar. Dua dasawarsa telah berlalu, tetapi desentralisasi fiskal nyatanya masih menyisakan pekerjaan rumah yang masih besar, terutama untuk mengurangi jurang ketimpangan fiskal.
Bukan Hanya Kuantitas
Keberhasilan desentralisasi sejatinya bukan hanya perkara kuantitas besaran jumlah dana transfer yang mampu diberikan oleh pemerintah kepada daerah. Money follows function adalah kunci dasar berjalannya desentralisasi, tetapi hal itu bukan kunci utama mencapai keberhasilan pembangunan daerah. Komponen lain yang sering terlupakan, tetapi sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan desentralisasi adalah kualitas sumber daya manusia (SDM). Kemampuan SDM dalam desentralisasi sangat diperlukan untuk menunjang kualitas birokrasi dan kualitas perencanaan sehingga tujuan desentralisasi dapat terwujud.
Sistem monitoring yang selama ini kerap menjadi permasalahan dalam birokrasi adalah salah satu contoh nyata kendala desentralisasi yang dapat diatasi dengan memperbaiki kualitas SDM. Masih rendahnya kualitas SDM terlihat melalui ranking Programme for International Student Assessment (PISA) di mana Indonesia mengalami penurunan dari urutan ke-72 menjadi ke-77 pada 2018. Skor PISA Indonesia untuk matematika berkisar di angka 379 dan sains di skor 396. Selanjutnya bila rata-rata kemampuan baca negara-negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) berada di angka 487, skor Indonesia masih berada di angka 371. Ironis. Hanya 30% siswa Indonesia yang memenuhi kompetensi kemampuan baca minimal. Demikian pula dengan kompetensi matematika, masih 71% berada di bawah kompetensi minimal. Adapun untuk sains, sebanyak 40% siswa Indonesia masih berada di bawah kemampuan minimal yang diharapkan. Hasil PISA 2018 menjadi alarm dini untuk melakukan perubahan paradigma pendidikan di Indonesia.
Salah satu upaya pemerintah mendorong perbaikan pendidikan melalui pemberian alokasi dana mencapai 20% dari total belanja APBN nyatanya belum mampu memperbaiki kualitas pendidikan yang ada. Alokasi dana pendidikan sebesar 20% dari total APBN tersebut belum dikelola dengan optimal karena dunia pendidikan di Indonesia masih disibukkan dengan berbagai soal mengenai kualitas pengelolaan sekolah, biaya operasional sekolah hingga kapasitas tenaga pengajar.
Sinkronisasi Tata Aturan
Sumber daya manusia yang tinggi dapat mempercepat pertumbuhan bangsa. Jumlah penduduk yang besar apabila tidak diikuti dengan kualitas yang memadai hanya akan menjadi beban pembangunan. Kualitas penduduk adalah keadaan penduduk baik secara perseorangan maupun kelompok berdasarkan tingkat kemajuan yang telah dicapai. Agar menjadi sumber daya yang maju, penduduk harus memiliki kualitas yang memadai sehingga dapat menjadi modal pembangunan yang efektif.
Pada 2045 Indonesia diproyeksikan akan menjadi bangsa yang maju dan kuat atau dikenal dengan istilah Indonesia Emas. Apalagi sampai dengan 2030, Indonesia mendapatkan anugerah bonus demografi dengan jumlah penduduk Indonesia sangat produktif, yaitu angkatan kerja (usia 15–64 tahun) lebih besar bila dibandingkan dengan penduduk yang tidak produktif (di bawah 5 tahun dan di atas 64 tahun). Potensi yang ada ini didukung juga dengan kualitas SDM yang membaik sehingga seharusnya memperkuat keyakinan kita bahwa Indonesia Emas 2045 mampu kita raih.
Tentu sangat sulit jika kita memaksakan bahwa seluruh daerah di Indonesia menjadi seperti Bali, Jakarta, Surabaya atau Bandung. Target yang harus kita kejar adalah standar pelayanan minimal (SPM) di Indonesia, terutama untuk sektor yang paling mendasar, yakni pendidikan dan kesehatan. Pendidikan berkualitas belum dapat diakses secara merata oleh masyarakat tidak mampu. Penelitian SMERU Research Institute menunjukkan bahwa ada indikasi perbedaan kualitas pendidikan antara siswa miskin dan siswa kaya.
Tingkat ekonomi berkorelasi positif dengan kemampuan terhadap akses pendidikan berkualitas. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa pada praktiknya masih banyak sekolah yang mengalami kekurangan buku-buku teks, keterbatasan laboratorium, guru yang tidak memenuhi kualifikasi hingga masih kurangnya jumlah guru yang tersedia di berbagai daerah. Selain itu beban pembiayaan yang ditanggung orang tua murid, khususnya pembiayaan sekolah menengah, turut memberikan batasan akses bagi warga miskin terhadap pendidikan.
Melalui kebijakan desentralisasi fiskal yang berjalan saat ini, dinamika percepatan perbaikan kualitas SDM bisa jadi berbeda, tetapi sepatutnya arah pendidikan yang kita inginkan sudah harus mengarah pada satu titik. SDM yang kita hasilkan harus mampu berperan aktif untuk menjadikan Indonesia lebih baik dan membangun jembatan yang luas dan mulus bagi seluruh rakyat menuju Indonesia Emas 2045. Semoga.
Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia