Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Kementerian Keuangan Republik Indonesia
DI TENGAH upaya pemulihan ekonomi global, dunia sedang diliputi oleh kekhawatiran terhadap tingginya inflasi. Di sejumlah negara, laju inflasi sedang berada pada titik puncaknya. Sebagai contoh Amerika Serikat, negara dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut sedang menghadapi laju inflasi tertinggi dalam sejarah. Salah satu penyebabnya adalah adanya kenaikan harga komoditas pangan.
Indonesia juga sedang menghadapi ancaman tingginya laju inflasi. Meskipun masih berada dalam range target Bank Indonesia (BI), inflasi pada Januari 2022 telah mencapai level tertinggi dalam 20 bulan terakhir, yaitu pada level 2,18% year-on-year. Selain didorong oleh menguatnya aktivitas konsumsi masyarakat, kenaikan inflasi di dalam negeri juga dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan pangan di tengah cuaca ekstrim yang berpengaruh terhadap hasil panen.
Dalam catatan BI, peran volatile foods sebagai pembentuk inflasi di Indonesia memang sangat besar. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat demikian. Pada Januari 2022, andil kelompok makanan, minuman dan tembakau menyumbang 0,30% dari total inflasi tahun kalender 2022 yang sebesar 0,56%.
Namun di sisi lain, ketika sedang terjadi panen raya, harga komoditas makanan melemah tajam sehingga seringkali menyebabkan deflasi, dan yang lebih buruk adalah merugikan petani.
Bila harga bahan pangan memiliki peran sangat besar dalam pembentuk stabilitas harga, lalu timbul sebuah pertanyaan: bagaimana caranya menjaga stabilitas harga pangan melalui kecukupan pasokan, yang sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan petani?
Pertanyaan tersebut telah menjadi diskursus cukup lama di Indonesia. Sebagai negara yang masyarakatnya bertumpu pada sektor pertanian, volatilitas harga bahan pangan di Indonesia relatif tinggi. Hingga akhirnya pada 2006 muncul Sistem Resi Gudang (SRG) yang menjadi salah satu program prioritas nasional.
Melalui SRG, komoditas pangan dapat disimpan dalam gudang untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan. Komoditas yang disimpan tersebut juga dapat digunakan untuk memperoleh pembiayaan atau kredit dari lembaga jasa keuangan, yang bertujuan untuk menjaga kesinambungan produksi dan pasokan kmoditas pangan.
Namun demikian, implementasi SRG dirasa belum optimal. Dari 123 gudang yang dibangun oleh pemerintah, hanya 60 gudang yang beroperasi, sedangkan sisanya idle karena belum memiliki pengelola. Dari sisi wilayah, pemanfaatan gudang juga masih terpusat di Pulau Jawa. Selanjutnya, dari sisi pembiayaan juga masih perlu ditingkatkan. Pada tahun 2021, jumlah resi gudang yang diterbitkan mencapai Rp446,3 miliar, namun hanya Rp312,35 miliar yang memperoleh pembiayaan, atau 69,9% dari total resi gudang yang diterbitkan.
Belum optimalnya SRG dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, pemahaman petani terhadap SRG masih rendah sehingga pemanfaatannya juga belum optimal. Kedua, bunga kredit dan persyaratan yang ditetapkan juga kurang kompetitif di mata debitur. Sebagai contoh, beban bunga yang ditanggung debitur SRG adalah sebesar 6%, namun fasilitas ini dikecualikan bagi debitur yang telah mendapatkan fasilitas kredit program dari Pemerintah, seperti misalnya Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sementara di sisi lain, fasilitas bunga yang ditawarkan oleh program KUR lebih baik, yaitu hanya sebesar 3%.
Selanjutnya dari sisi bank pelaksana, profil risiko kredit SRG dirasa cukup tinggi, sehingga perbankan cenderung berhati-hati dalam menyalurkan kredit untuk SRG. Sementara itu, suku bunga kredit yang ditetapkan relatif rendah, yaitu sebesar suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) (3,5%) ditambah 5%. Formula tersebut dirasa tak lagi relevan, mengingat ketika aturan tersebut dibuat, suku bunga penjaminan LPS masih berada di kisaran 9%. Dengan demikian, daya tarik kredit SRG menurun di mata perbankan seiring dengan turunnya bunga LPS.
Sebagai ilustrasi lain, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK), atau suku bunga kredit yang digunakan sebagai dasar oleh bank kepada nasabah untuk kredit mikro rata-rata masih di atas 10%, sedangkan SBDK untuk kredit ritel masih di atas 9%. Artinya perbankan harus mengorbankan banyak hal apabila mengejar penyaluran kredit SRG, sehingga hal tersebut menjadi salah satu alasan kenapa kredit SRG belum dilirik serius oleh perbankan.
Terakhir dari sisi lembaga pengelola SRG, biaya gudang yang cukup tinggi dan terbatasnya pengelola gudang yang kompeten menjadi kendala tersendiri dalam operasional SRG.
Reformulasi Sistem Resi Gudang
Selama lebih dari satu dekade, manfaat yang diberikan SRG sudah cukup banyak, namun SRG perlu untuk terus berbenah. Reformulasi kebijakan menjadi sebuah keharusan, mengingat aspek sosial dan ekonomi yang telah banyak berubah. Pertama, saat ini, gudang SRG telah tersebar di 105 Kabupaten/Kota di 25 provinsi. Untuk itu, pembangunan gudang-gudang baru yang berdekatan dengan lumbung pertanian masih diperlukan. Selain itu, sinergi pengelolaan dengan Pemda melalui dana transfer ke daerah dapat dipertimbangkan.
Kemudian yang tak kalah penting adalah mendesain sistem subsidi bunga untuk SRG. Saat ini, penetapan formula suku bunga kredit SRG perlu ditinjau ulang, namun dengan tetap mempertimbangkan subsidi bunga yang berkeadilan, baik bagi debitur maupun kreditur, serta kemampuan negara dalam menyediakan alokasi subsidi. Skema subsidi bunga KUR bisa menjadi acuan bagi desain subsidi SRG ke depan mengingat kemiripan segmen penerimanya.
Ketiga, SRG harus beradaptasi dengan perkembangan digitalisasi yang masif dalam beberapa tahun terakhir. Ke depan, pengelola SRG harus berupaya dalam penyediaan katalog komoditas secara digital, yang mudah diakses oleh produsen maupun konsumen. Hal tersebut sekaligus dapat mempermudah lembaga jasa keuangan dalam melakukan asesmen kredit.
Praktik tersebut telah dilakukan di India, di mana Pemerintah setempat menyediakan digital warehouse bagi komoditas hasil pertanian. Tujuannya adalah untuk mempertemukan penjual dan pembeli dengan lebih efisien. Platform tersebut juga dilengkapi fasilitas online payment, dan bahkan membuka kesempatan bagi produk-produk unggulan untuk dijadikan sebagai produk ekspor. Era digitalisasi memang harus dimanfaatkan untuk memperkuat bursa komoditas yang selama ini masih tertinggal di Indonesia, sehingga terbentuk pasar yang transparan, dan mudah diakses oleh semua pihak.
Terakhir, sinkronisasi kebijakan antar lembaga juga menjadi kunci untuk memperkuat SRG. Dari sisi Pemerintah, perbaikan pengelolaan gudang, dan proses bisnis yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan bersama dengan Pemda bisa menjadi elemen penting. Selanjutnya, Kementerian Keuangan juga terus menyusun desain kebijakan subsidi SRG yang relevan dengan perkembangan terkini dan tepat sasaran.
Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan perlu mendukung SRG melalui dukungan kebijakan pembiayaan, seperti penetapan plafon dan persyaratan kredit. Dan sebagai penutup, SRG yang bisa digunakan oleh BI sebagai instrumen stabilitas harga harus mendapatkan dukungan kebijakan dari bank sentral. Melalui sinkronisasi kebijakan antarlembaga tersebut, tak ayal SRG akan menjadi sebuah instrumen kunci untuk menjawab diskursus yang selama ini berkembang. Semoga!
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Jum’at, 04 Maret 2022 – 15:01 WIB oleh Koran SINDO dengan judul “Sistem Resi Gudang, Mengapa Belum Dilirik