HIRUK-pikuk Piala Dunia masih terus berjalan hingga hari ini. Secara mengejutkan banyak pemain kategori terbaik dunia saat ini seperti Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, terakhir Neymar, terpaksa harus angkat koper lebih awal.
Mohamed Salah yang musim lalu begitu bersinar pun nyata-nyatanya sudah tersingkir, bahkan saat baru menjalani dua laga. Meskipun berjalan di luar dugaan, kalau kita perhatikan lebih mendalam ada benarnya juga mengapa pesona kebintangan seseorang tidak cukup menyelamatkan sebuah negara (tim sepak bola) dari kegagalan.
Kita harus memahami terlebih dulu bahwa sepak bola adalah olahraga tim, yang merupakan gabungan dari 11 pemain di lapangan, bukan penonjolan salah satu anggotanya. Untuk memenangkan suatu pertandingan, diperlukan tim solid yang mampu membangun kebersamaan dan pemahaman yang sama di antara pemain, pelatih, dan pengelola sepak bola. Hal itulah yang bisa dipahami dari pengalaman beberapa negara yang telah menjadi world champion.
Pada Piala Dunia empat tahun lalu, Jerman sudah membuktikan bahwa kesebelasan mereka mampu menjadi yang terbaik, kendati tidak ada pemain terbaik dunia yang bermain untuk tim mereka. Tetapi mereka memiliki modal kolektivitas yang berasal dari para pemain dengan kualitas merata dan hampir semuanya bermain di liga papan atas.
Tetapi, tidak ada individu yang betul-betul tampak paling menonjol layaknya peraih Ballon d’Or(gelar pemain sepak bola terbaik Eropa), bahkan di laga final mereka berhasil mengalahkan Argentina yang di dalamnya diperkuat Lionel Messi.
Fenomena seperti ini yang kemudian mengilhami penulis untuk berpikiran sederhana. Ada kalanya untuk memperoleh sesuatu yang besar dibutuhkan sumber daya yang kuat dan soliditas yang erat.
Sebuah rumah megah pun jika hanya mengandalkan satu pilar besar untuk menahan semua tekanan lambat laun akan segera runtuh juga. Termasuk di dalamnya terangkum pesan tentang cara untuk memenangkan persaingan ekonomi.
Saat ini perekonomian kita menghadapi turbulensi ekonomi dunia yang sangat dahsyat. Munculnya perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) tentu akan segera memicu dampak domino terhadap stabilitas ekonomi dan sosial yang sangat besar bagi negara-negara lain.
Khususnya, terhadap negara yang saat ini tengah melakukan trading dengan China dan AS. Jumlahnya bisa jadi sangat banyak karena kedua negara sedang menjadi kutub perdagangan dunia—dan beberapa negara sudah ada yang mengalami “batuk”. Ada juga yang bahkan sudah mulai “muntah” seperti Turki yang mengalami penurunan mata uangnya paling parah.
Kurs rupiah secara perlahan namun pasti sudah tampak menuju keseimbangan yang baru. Di awal Juni 2018 kurs kita, berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), masih tampak lumayan sehat, berada di angka Rp13.872 per dolar AS (4/6). Berikutnya, pada 10 Juli kemarin, sudah melemah menjadi Rp14.326 per dolar AS.
Kendati Bank Indonesia (BI) sudah berupaya menahan turbulensi ekonomi dunia dengan meningkatkan tingkat bunga acuan (7 days repo rate) sampai 3 kali, hasilnya pun belum seperti yang diharapkan. Penulis meyakini, bisa jadi setelah ini BI akan kembali meningkatkan 7DRR sembari menunggu bagaimana The Fed (Bank Sentral AS) akan menciptakan akrobat kebijakan moneter selanjutnya.
Sebagai informasi, menjelang Lebaran kemarin The Fed sudah menaikkan Fed Fund Rate (FFR) untuk yang kedua kalinya pada tahun ini, dari 1,75% menjadi 2%. Atas kenaikan tersebut BI kemudian berusaha mengimbangi dengan meningkatkan 7DRR dari 4,75% menjadi 5,25%. Tujuannya agar para pemodal menahan lebih lama uangnya di Indonesia.
Beberapa bankir kemudian memprediksi, jika The Fed akan meningkatkan kembali FFR-nya hingga dua kali lagi di sisa tahun 2018, maka BI yang sementara ini secara agregat sudah meningkatkan suku bunga acuannya hingga 1%, akan terus membengkak menjadi total 2%.
BI tampaknya cukup pede, percaya diri, karena di awal gebrakannya merasa cukup efektif untuk meredam kemerosotan nilai rupiah. Tetapi, dengan berjalannya waktu itu tampaknya mulai butuh penyegaran. Bantalan perekonomian domestik kita belum mampu bertahan, khususnya yang berasal dari neraca perdagangan ekspor-impor. Salah satu penyebabnya karena tim ekonomi kita masih dirasakan belum solid. Bauran kebijakan belum tampak bekerja sama secara simultan. Hal yang paling tampak justru dari pemerintah yang dianggap masih terlalu lamban menyikapi turbulensi ini. Akan tetapi, hal ini masih dalam taraf yang bisa “dimaklumi” mengingat perubahan-perubahan kebijakan kita tidak bisa dilakukan secara akrobatik karena negeri kita memiliki gaya kebijakan yang untuk melakukan sesuatu harus ada dukungan legal-formalnya (regulasi), misalnya terkait perubahan belanja kementerian/lembaga (K/L). Nomenklatur belanja K/L sudah cukup ketat karena telah diatur dalam Undang-Undang APBN. Karena itu, pemerintah tidak bisa serta-merta mengubah kerangka belanja seperti laiknya kita meretur barang ke sebuah toko. Untuk menciptakan kebijakan yang mendadak pun terkesan selalu butuh waktu yang relatif panjang. Hal tambahan yang perlu disorot juga adalah birokrasi pemerintah yang terkesan berbelit dan tidak ada breakthrough bagaimana memotong proses birokrasi menjadi lebih cepat dan efektif. Khusus yang terkait dengan kegiatan investasi dan pelayanan publik lainnya. Ini pula yang kemudian paling dikeluhkan oleh para investor, terutama pada saat menghadapi regulasi di tingkat daerah. Padahal, kita sama-sama mengetahui bahwa hasil-hasil kebijakan investasi merupakan target pembangunan di tingkat pusat maupun daerah. Namun, ada conflict of interest karena di sisi yang lain, di mana berbelitnya sistem birokrasi, kerap menjadi “berkah” tersendiri bagi pemerintah (melalui pendapatan retribusi) maupun oknum pemerintah (pemburu rente). Jika sudah demikian, kita juga hendaknya tidak terlalu banyak mengeluh tentang keadaan yang sekarang ini terjadi. Karena kita, sebagai produsen dan konsumen, yang terkadang lebih memilih menggunakan barang impor ketimbang hasil produksi dalam negeri. Efek konsumsi dan produksi barang-barang impor itulah yang membuat nilai tukar kita enggan menguat. Keinginan konsumen dan kemampuan produsen sering gagal menemukan titik-titik kesepahaman. Konsumen biasanya menuntut harga produk domestik normatifnya dalam harga yang murah, tetapi kualitasnya tidak terpaut jauh dengan produk luar negeri. Nah, di sisi yang lain produsen kita merasa berat menyediakan harga yang murah untuk menyediakan barang-barang berkualitas. Alasannya, karena faktor-faktor struktural yang banyak menghambat. Misalnya berkat kapasitas infrastruktur yang kurang memadai dan kurang merata maka biaya transaksi yang ditanggung produsen sering menjadi berlipat ganda. Sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo yang terlihat amat loyal untuk belanja infrastruktur, pada kenyataannya belum cukup kuat menekan biaya transaksi yang muncul dari sistem transportasi, energi, maupun irigasi. Jika kita terlalu tinggi mengandalkan kemampuan pemerintah, akselerasi pembangunan kita bisa jadi akan tersendat. Karena pemerintah sendiri terus mencari peluang, bagaimana mendapatkan dana pembangunan untuk mencukupi semua kebutuhan pembiayaan tersebut? Faktor tenaga kerja pun tampaknya ikut memengaruhi mengapa produk dalam negeri tidak seberapa dilirik konsumen domestik. Menteri Tenaga Kerja beberapa waktu lalu mengatakan, tenaga kerja kita yang bisa dibilang cukup terampil hanya sekitar 55 juta orang. Angka rasionya terlihat kecil jika dibandingkan total tenaga kerja kita yang jumlahnya mencapai sekitar 112 juta orang. Alumni-alumni pendidikan kita juga tidak sedikit yang overlap antara bidang studi dan dunia kerjanya sehingga bisa disimpulkan kurikulum pendidikan kita belum cukup sinkron dengan dunia kerja. Untuk saat ini, sepertinya alangkah lebih baiknya jika pemerintah fokus pada perekonomian dalam negeri, dengan mengutamakan stabilitas dan pemerataan. Aspek pertumbuhan akan mengalami kontraksi yang signifikan selama nilai rupiah terus anjlok dan didukung fenomena perekonomian global lain. Tetapi, selama masyarakat masih mampu bekerja, berbelanja, dan kebutuhan pangan selalu tersedia, kestabilan dan pemerataan bisa akan terus terjaga.
Pemerintah daerah juga perlu lebih banyak dilibatkan untuk membantu urusan pembangunan nasional. Sinkronisasi kebijakan sudah sewajarnya terus dilakukan agar pengelolaannya menjadi efektif. Dana-dana transfer (sebagaimana prinsip money follow function) sudah sangat banyak digelontorkan pemerintah pusat ke daerah dengan berbagai skema. Tetapi, data menunjukkan bahwa dana-dana pemerintah daerah yang mengendap di perbankan masih lumayan besar. Per April 2018 kemarin jumlah dana idle di perbankan sudah mencapai Rp212,41 triliun. Angka ini tentu jumlah yang sangat besar, sekitar 27,72% dari total dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Kalau proses penyerapannya saja sudah belepotan, bagaimana dengan proses administrasi lainnya? Karena itu, penulis menitipkan pesan untuk kita semua, dalam menghadapi turbulensi ekonomi yang tampaknya akan muncul secara bertubi-tubi ini. Kita harus mampu menciptakan tim yang solid untuk memperkuat perekonomian dalam negeri. Karena semua stakeholder berpeluang turut andil di posisi ekonomi masing-masing untuk menjadikan Indonesia sebagai negara ekonomi yang lebih baik. Setelah ini perlu dibangun tim ekonomi yang solid yang didukung oleh birokrasi yang efektif dan efisien, meskipun birokrasi itu sendiri juga perlu terus perbaikan. Masyarakat bisa mengisi pos-pos penguatan melalui posisi sebagai produsen dan/atau konsumen.
Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya