Ujian pandemi masih belum berakhir di negara kita. Hingga saat ini bahkan belum ada seorang pun yang dapat memastikan batas akhir masa pandemi. Sementara di beberapa negara sudah mulai menunjukkan beberapa peningkatan tingkat pemulihan.
Demi menekan angka penyebaran wabah, tak ada pilihan lain yang dapat dilakukan pemerintah selain membatasi pergerakan manusia. Akibatnya, tentu dampak ekonomi yang muncul semakin dalam dan kini menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi oleh Indonesia.
Pandemi virus corona (Covid-19) juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi domestik kuartal I/2020 yang terperosok dalam ke level 2,97% year on year (yoy). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal I/2020 ini merupakan yang terendah sejak 2001. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia berdasarkan harga konstan pada kuartal I/2020 ini sebesar Rp2.703 triliun dan atas dasar harga berlaku tercatat Rp3.122 triliun. Melalui dasar kuartal I seperti itu, bisa dipastikan pada kuartal II akan semakin mendalam dan berat bagi perekonomian.
Harapan kita, tentu di kuartal III dan IV ada titik balik pertumbuhan, terutama jika mampu memulihkan daya beli masyarakat serta ekspor. Hal ini karena beberapa negara tujuan ekspor sudah menunjukkan pemulihan.
Pandemi dan Ancaman PHK
Organisasi Buruh Internasional (ILO) memprediksi 1,25 miliar orang di dunia bekerja di sektor yang terdampak parah oleh Covid-19 dan dibayangi risiko PHK. Sektor-sektor tersebut termasuk akomodasi dan jasa makanan, yakni perdagangan ritel dan besar, termasuk jasa reparasi kendaraan, manufaktur, dan properti atau real estate.
Berdasarkan laporan hasil survei dampak Covid-19 terhadap perusahaan penerima fasilitas menunjukkan bahwa hanya 6% industri yang masih normal. Sisanya 94% industri terdampak corona. Dari jumlah tersebut, 46% industri masih berusaha mencari pasar pengganti, terutama industri pakaian jadi, 25% industri menunda pengiriman, 5% industri masih memproduksi dan menimbun produksi, serta 8% industri mengurangi produksi.
Di sektor ekspor–impor, pandemi lebih besar mengguncang ekspor ketimbang impor. Sebagian besar perusahaan masih mampu menjaga kinerja impor, di mana 654 perusahaan hanya mengalami penurunan 0-10%, sedangkan perusahaan yang mengalami penurunan di atas 50% hanya sebanyak 233 perusahaan. Industri yang paling bertahan adalah industri makanan, sedangkan industri yang tertekan paling dalam adalah industri pakaian jadi.
Data Kementerian Ketenagakerjaan per 20 April 2020 menunjukkan 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan yang telah dirumahkan dan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat imbas pandemi corona. Sebanyak 1,8 juta di antaranya merupakan pegawai industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dirumahkan dan di-PHK. Jumlah tersebut mencapai 70% dari total tenaga kerja industri TPT yang 2,7 juta orang.
Pemerintah berupaya keras mengantisipasi semakin meluasnya gelombang PHK. Selaku pemangku kebijakan, pemerintah terus berupaya keras mencari jalan untuk dapat membantu industri bertahan tanpa PHK besar-besaran hingga wabah ini selesai atau terkontrol. Supply-side economics berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi dapat paling efektif diciptakan dengan menurunkan pajak dan mengurangi regulasi.
Saat ini setidaknya ada empat insentif perpajakan guna membantu wajib pajak (WP) terdampak wabah Covid-19. Empat insentif tersebut terkait dengan ketentuan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pelaku UMKM juga mendapat fasilitas pajak penghasilan final tarif 0,5% (PP 23/2018) yang ditanggung pemerintah. Seluruh fasilitas insentif pajak tersebut berlaku hingga masa pajak September 2020. Pemerintah berharap fasilitas insentif pajak tersebut dapat membantu para pengusaha di Indonesia untuk menghadapi dan melewati masa sulit akibat dampak buruk wabah corona.
Selain itu, kelonggaran lain yang juga diberikan oleh pemerintah bagi industri untuk dapat bertahan di antaranya melalui pemberian relaksasi jangka waktu pelunasan cukai, insentif tambahan pembebasan bea masuk (BM), insentif pembebasan BM untuk impor alat kesehatan komersial/nonkomersial, insentif relaksasi prosedural penyerahan surat keterangan asal (SKA) secara online, serta perluasan pemberian pembebasan cukai etil alkohol (EA).
Kerja Sama Pemerintah dan Industri
Ekonomi memiliki konsep permintaan (demand) dan penawaran (supply) yang saling bertemu dan membentuk satu titik pertemuan dalam satuan harga dan kuantitas (jumlah barang). Setiap transaksi perdagangan pasti ada permintaan, penawaran, harga dan kuantitas yang saling memengaruhi satu sama lain.
Menurut ekonomi sisi penawaran, konsumen kemudian akan mendapat manfaat dari pasokan barang dan jasa yang lebih besar dengan harga lebih rendah dan lapangan kerja akan meningkat. Di sisi lain, ekonomi sisi permintaan, berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi paling efektif diciptakan oleh permintaan yang tinggi untuk produk dan layanan.
Menurut ekonomi sisi permintaan, output ditentukan oleh permintaan efektif. Pengeluaran konsumen yang tinggi mengarah pada ekspansi bisnis yang menghasilkan peluang kerja yang lebih besar. Tingkat pekerjaan yang lebih tinggi menciptakan multiplier effect yang selanjutnya mendorong permintaan agregat menuju pertumbuhan ekonomi yang lebih besar. Sebab itu, pemerintah telah berupaya memberikan insentif untuk mendorong sisi produksi tetap jalan dan dalam waktu yang sama sisi permintaan tetap terjaga.
Kerja sama yang diperlukan saat ini tentu kerja sama yang saling menguntungkan. Terutama jika pemerintah terus berupaya memberikan insentif, relaksasi, bagi industri/dunia usaha untuk terus bertahan (carrot), maka pemerintah saat ini berharap bahwa industri tidak melakukan PHK kepada buruhnya. Termasuk pemerintah memberikan izin bagi pengusaha untuk menunda pemberian THR itu juga bagian dari sharing beban di mana PHK tidak boleh dilakukan.
Itulah yang disebut stick and carrot policy, bagaimana fasilitas yang diberikan pemerintah dibayar dengan kepentingan mempertahankan buruh agar konsumsi masyarakat/rumah tangga tetap berjalan dan tumbuh. Wallahualam.
Prof Candra Fajri Ananda Ph.D
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia