Pajak daerah merupakan nadi utama pembangunan di tingkat kabupaten dan kota. Dana yang terkumpul dari pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, dan lainnya, secara langsung membiayai pelayanan publik yang kita rasakan sehari-hari: perbaikan jalan, pendidikan, kesehatan, dan kebersihan lingkungan.

Namun, sebuah tantangan klasik terus menghantui: rendahnya tingkat kepatuhan pajak daerah. Berdasarkan data Ditjen Pertimbangan Keuangan, realisasi pajak daerah secara nasional rata-rata masih dibawah 70% dari target APBD. Banyak Potensi Penerimaan Pajak Daerah (P3D) yang belum tergali optimal, menyebabkan anggaran pembangunan daerah seringkali jebol di tengah jalan. Sebagai mahasiswa Akuntansi yang mempelajari akuntansi sektor publik dan perpajakan, saya melihat masalah ini bukan semata-mata soal sanksi, tetapi lebih pada persoalan sistem, persepsi, dan kepercayaan.

Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pendekatan holistik yang menggabungkan aspek teknologi, psikologi sosial, dan reformasi birokrasi. Berikut beberapa strategi yang dapat diimplementasikan:

1. Simplifikasi dan Sosialisasi yang Masif serta Berkelanjutan
Kompleksitas peraturan dan prosedur sering menjadi penghalang utama. Wajib pajak, terutama UMKM, kerap kebingungan dengan tata cara penghitungan dan pelaporannya. Pemerintah daerah perlu:

  • Menyederhanakan Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP): Membuatnya lebih mudah dipahami dan dihitung oleh masyarakat awam.
  • Sosialisasi yang “Menjangkau”, Bukan “Menunggu”: Gunakan bahasa yang sederhana dan media yang variatif, dari media sosial, podcast, hingga pertemuan langsung dengan asosiasi pelaku usaha. Sosialisasi tidak boleh hanya dilakukan saat peraturan baru diterbitkan, tetapi harus berkelanjutan.

2. Leverage Teknologi: Dari Kepatuhan Sukarela ke Kepatuhan Otomatis
Di era digital, ketergantungan pada sistem manual sudah ketinggalan zaman. Pemerintah daerah harus berinvestasi pada sistem informasi perpajakan yang terintegrasi.

  • Aplikasi “E-Samsat” untuk Pajak Daerah: Bayangkan sebuah aplikasi tunggal dimana wajib pajak bisa melihat tagihan, menghitung pajak, dan membayarnya secara online. Ini akan memangkas waktu dan biaya kepatuhan (compliance cost) secara signifikan.
  • Integrasi Data: Sistem pajak daerah harus terintegrasi dengan database lain seperti Dukcapil, Sistem Perizinan Berusaha (OSS), dan transaksi elektronik. Ini mempersempit ruang bagi wajib pajak yang mencoba menghindar dan memudahkan identifikasi potensi baru.

3. Membangun “Tax Morale”: Dari Kewajiban ke Kebutuhan
Kepatuhan tidak bisa hanya dipaksakan. Ia harus tumbuh dari kesadaran (tax morale). Masyarakat harus melihat langsung manfaat pajak yang mereka bayar.

  • Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran: Pemerintah daerah wajib melaporkan secara rinci dan mudah diakses, alokasi dan realisasi dana pajak. Misalnya, dengan papan informasi di lokasi pembangunan atau dashboard online interaktif. Prinsip from money to mission dalam akuntansi sektor publik harus benar-benar terwujud.
  • Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik: Ketika masyarakat merasakan jalan yang mulus, pasar yang bersih, dan pelayanan kesehatan yang cepat, mereka akan lebih percaya bahwa uang pajaknya digunakan dengan benar. Kepatuhan pajak adalah transaksi sosial; warga membayar pajak, negara memberikan pelayanan yang layak.

4. Penegakan Hukum yang Adil dan Konsisten (Intelligent Enforcement)
Sanksi tetap penting, tetapi penerapannya harus cerdas.

  • Pemberian Sanksi yang Proporsional dan Edukatif: Untuk pelanggaran ringan, sanksi administrasi dapat diawali dengan teguran dan bantuan perbaikan SPT.
  • Fokus pada Wajib Pajak “Nakal”: Sumber daya pemeriksa pajak seharusnya difokuskan pada wajib pajak berisiko tinggi dan yang dengan sengaja melakukan penggelapan, bukan membebani wajib pajak yang kooperatif.

5. Pendekatan Behavioral “Nudge”
Konsep nudge (dorongan halus) dari ilmu ekonomi perilaku dapat diterapkan. Misalnya, dengan mengirimkan pesan kepada wajib pajak yang menyatakan, “9 dari 10 tetangga Anda di Kelurahan X telah membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Ayo, lunasi kewajiban Anda sekarang!” Pendekatan semacam ini memanfaatkan pengaruh sosial untuk mendorong kepatuhan.

Meningkatkan kepatuhan pajak daerah adalah sebuah marathon, bukan sprint. Dibutuhkan komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan, mulai dari kepala daerah, DPRD, hingga jajaran dinas pendapatan. Dengan kombinasi antara memudahkan (simplifikasi), memodernisasi (teknologi), membangun kepercayaan (transparansi), dan menegakkan aturan secara bijak, kita dapat mengubah paradigma pajak dari beban menjadi investasi bersama untuk memajukan daerah.

Sudah waktunya kepatuhan pajak tidak lagi dilihat sebagai kewajiban yang menakutkan, tetapi sebagai bentuk partisipasi aktif dan kebanggaan warga dalam membangun daerahnya sendiri.

Artikel oleh Siti Eliyana, (Mahasiswa S2 Akuntansi, 256020300111009).

Scroll to Top
Skip to content