PANDEMI Covid-19 yang terjadi tak hanya berdampak terhadap sektor kesehatan masyarakat, tetapi juga perekomian bangsa. Pandemi yang telah berhasil mengguncang ekonomi bangsa mutlak menyebabkan angka kemiskinan meningkat secara signifikan pada 2020.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada September 2020, melonjak menjadi 27,5 juta orang, atau naik menjadi 10,2% dibandingkan dengan September 2019 yang tercatat sebesar 24,8 juta orang. Peningkatan kemiskinan memang sudah diperkirakan ketika 75% rumah tangga di Indonesia mengalami penurunan pendapatan dan jumlah pengangguran mengalami peningkatan selama pandemi.
Hasil studi SMERU (2021) mencatat bahwa pada Agustus 2020 telah terjadi peningkatan angka pengangguran sebesar 2,7 juta orang. Pada saat yang sama, rata-rata upah nominal pekerja atau buruh mengalami penurunan sebesar minus 5,2% dari upah nominal sebelum pandemi.
Peningkatan persentase kemiskinan ini menjadi “warning” bagi pemerintah, mengingat kemiskinan merupakan faktor penting penyebab terjadinya stunting pada balita. Dampak sosio-ekonomi selama pandemi berpotensi akan memperburuk permasalahan gizi anak yang dapat menyebabkan stunting.
Ada hubungan nyata antara Covid-19 berpengaruh terhadap kasus stunting anak, terutama di Indonesia. Sehingga pandemi ini bukan hanya berdampak terhadap ekonomi, melainkan juga tumbuh kembang anak.
Indonesia masuk dalam daftar negara dengan status gizi buruk versi World Health Organization (WHO). Pada tahun 2019 angka stunting di Indonesia sebesar 27,6%. Angka tersebut diperkirakan mengalami peningkatan di tahun 2020 seiring dengan melonjaknya angka kemiskinan di Indonesia. Laporan UNICEF (2021) menyebutkan bahwa diestimasikan saat ini terdapat 31,8% anak stunting di Indonesia.
Angka tersebut menempatkan Indonesia meraih predikat very high (sangat tinggi) untuk kasus stunting. Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki angka stunting cukup tinggi yaitu Kabupaten Tasikmalaya – Jawa Barat.
Berdasarkan data Bulan Penimbangan Balita (BPB) Agustus 2020, angka prevalensi stunting di Kabupaten Tasikmalaya telah melebihi target nasional, yakni di atas 20%. Selanjutnya, jika dibandingkan dengan berbagai negara lain di dunia, angka stunting di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan Korea Selatan (2,2%), Jepang (5,5%), Malaysia (20,9%), China (4,7%), Thailand (12,3%), Filipina (28,7%), dan Kenya (19,4%). Meski demikian, persentase stunting di Indonesia lebih rendah dari di Kongo (40,8%), Ethiopia (35,3%), dan Rwanda (32,6%).
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan. Kondisi itu mempengaruhi tumbuh kembang otak anak serta menyebabkan anak lebih berisiko menderita penyakit kronis setelah dewasa.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan anak yang tumbuh dengan stunting mengalami masalah perkembangan kognitif dan psikomotor. Jika proporsi anak yang mengalami kurang gizi, gizi buruk, dan stunting besar dalam suatu negara, maka akan berdampak pula pada proporsi kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan. Artinya, besarnya masalah stunting pada anak hari ini akan berdampak pada kualitas masa depan bangsa.
Stunting dan Dana Desa
Terkait kebijakan penanggulangan stunting di Indonesia, Kemenkes memperluas wilayah lokus untuk pelaksanaan intervensi. Tahun 2020 akan melingkupi 260 Kab/Kota yang terus diperluas hingga sasaran seluruh kabupaten di tahun 2024. Hal ini sejalan dengan target pemerintah menurunkan prevalensi stunting menjadi 14% pada tahun 2024.
Pemerintah telah mengucurkan anggaran, baik melalui mekanisme belanja kementerian/lembaga, maupun melalui mekanisme Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dengan alokasi yang cukup besar. Pada tahun 2020, anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk penanganan penurunan angka stunting melalui TKDD mencapai Rp76,2 triliun. Sebuah anggaran yang tak sedikit.
Kini, di tahun 2021 anggaran yang diperuntukkan bagi penurunan angka stunting tersebut mengalami peningkatan menjadi Rp86,2 triliun. Kenaikan anggaran tersebut merupakan wujud keseriusan pemerintah untuk menekan angka stunting di 2024 mendatang.
Selain upaya penanganan dari pusat, pemerintah daerah juga memiliki peran yang sangat penting dalam upaya penanggulangan stunting secara terarah di semua tingkatan mulai dari Provinsi, Kabupaten/Kota, hingga Kecamatan dan Desa. Pada tahun 2019 pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.07/2019 yang menetapkan pedoman penggunaan dana transfer untuk mendukung pelaksanaan kegiatan intervensi pencegahan stunting.
Sejalan dengan Kemenkeu, Kemendes juga telah memasukan pencegahan stunting sebagai salah satu prioritas penggunaan dana desa tahun 2019 dan tahun 2020. Di samping itu, untuk memberikan penekanan pada setiap desa dalam penggunaan dana desa untuk pencegahan stunting, Kemenkeu menetapkan salah satu dokumen persyaratan pengajuan pencairan dana desa ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) yakni laporan konvergensi pencegahan stunting tingkat desa. Laporan yang disampaikan sebagai syarat pencairan dana desa tahap II tersebut, sekaligus sebagai bentuk monitoring atas penggunaan dana desa dalam pencegahan stunting.
Pada perjalanannya, pelaksanaan upaya penurunan stunting di berbagai daerah masih banyak yang belum optimal. Berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan oleh Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan terkait dengan pemanfaatan DAK di tahun 2020, diketahui bahwa banyak daerah yang belum memanfaatkannya secara optimal untuk penanganan stunting.
Adapun kendala dan tantangan yang kerap dihadapi oleh setiap daerah dalam menangani permasalahan stunting adalah kurangnya koordinasi lintas sektor dan kurangnya pemahaman daerah dan desa atas program-program penanggulangan stunting.
Signifikansi Peran Pemerintah Daerah
Penjelasan diatas menggambarkan betapa pendanaan APBN dan APBD termasuk DD, perlu di lakukan sinergi yang lebih terfokus, baik dari sisi sektor dan lokasinya. Sehingga tidak bisa dikatakan pemerintah pusat lebih bertanggungjawab atau sebaliknya pemerintah daerah, tetapi bagaimana anggaran di desain perlu di sinkronisasikan, yang dimulai dari sisi perencanaan sampai dengan penganggaran.
Sementara, untuk standarisasi dan kinerja program, akan lebih baik jika pemerintah pusat, apakah kementrian Kesehatan atau Keuangan, perlu menetapkan untuk lebih mudah dalam memonitor dan me-evaluasi kualitas program yang dijalankan.
Pemerintah Daerah berperan sangat penting, terutama sebagai ujung tombak dalam penanganan program stunting. Sebagai masalah multidimensional, stunting butuh penyelesaian yang multi sektoral, sehingga Pemerintah Daerah perlu memahami, mengenali, dan berkomitmen untuk menyusun strategi dalam memerangi permasalahan stunting.
Salah satu strategi menangani Stunting adalah optimalkan peran Posyandu, yang memiliki kedekatan erat dengan kehidupan warga di setiap daerah. Posyandu bisa memainkan peran sebagai pusat edukasi, pusat informasi, pusat penyaluran (tambahan makanan/minuman vitamin dan bergizi) bagi orang tua dan balita-nya, dimana pembiayaan dibebankan pada APBD maupun DD.
Melalui sinkronisasi pembiayaan dan perencanaan yang terintegrasi, penanganan stunting ini akan lebih terukur dan bisa ditekan secara gradual. Di luar itu, pemahaman akan bahaya stunting ini perlu terus disampaikan kepada semua fihak, untuk mengoptimalkan peran masing-masing.
Berbagai inovasi kebijakan yang bisa dilakukan sangat mungkin, karena keleluasaan penggunaan anggaran untuk kesehatan, apalagi di era pandemi, perlu terus dibangun dengan memperhatikan kearifan lokal di wilayah masing-masing untuk mencapai target penanganan stunting Indonesia di 2024. Semoga.
Prof Candra Fajri Ananda Ph.D
Staf Khusus Kementerian Keuangan Republik Indonesia