MASA periode pertama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) bersama Jusuf Kalla telah usai. Kini setelah pelantikan Jokowi dan Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden periode 2019–2024 kemarin, sejumlah asa baru publik kembali terbuka dan tumbuh terus untuk kemajuan bangsa.
Meski bukan hal yang baru bagi seorang kepala negara yang sebelumnya telah menjabat, beban kepemimpinan di periode kedua pemerintahan kini juga tampaknya bukan pula menjadi hal yang mudah di tengah pertahanan ekonomi nasional yang kian melemah, selain turbulensi ekonomi dunia yang masih masif dan penuh kejutan. Berbagai tumpukan masalah ekonomi dan sosial telah menanti untuk satu per satu segera diselesaikan dengan baik.
Salah satu tantangan ekonomi yang harus dihadapi Indonesia ialah rendahnya tax ratio. Sejak 2015 hingga 2017, tax ratio Indonesia hanya terhenti di angka 10% di mana tax ratio tahun 2017 hanya berada di level 10,8% (DJP, 2019). Pada 2018, tax ratio Indonesia sedikit mengalami peningkatan di angka 11,5%, tetapi faktanya angka tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai rata-rata tax revenue to GDP ratio dunia yang berada di level 15,06% (DJP, 2019).
Pada saat bersamaan, kondisi neraca pembayaran pun sedang lemah. Data Bank Indonesia pada kuartal II-2019 mencatat bahwa neraca pembayaran mengalami defisit sebesar USD2 miliar. Rapor merah tersebut terutama disebabkan lemahnya kinerja ekspor.
April 2019, defisit neraca perdagangan tercatat menjadi yang terburuk sepanjang sejarah sehingga menekan transaksi berjalan yang sudah mengalami defisit sejak 2011. Kondisi defisit neraca pembayaran tersebut menyebabkan kemampuan negara dalam membiayai kewajiban luar negeri juga akan melemah.
Hantaman pertahanan ekonomi Indonesia juga kian berat mengingat kondisi ekonomi global yang semakin menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Kondisi perlambatan perekonomian global tersebut antara lain terjadi akibat perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang hingga saat ini masih berlangsung dan belum ada tanda-tanda para pihak mengalah.
Saat ini ekonomi China juga mulai melemah akibat perang dagang tersebut. Perlambatan ekonomi di China selanjutnya dapat menimbulkan “efek domino” terhadap kondisi ekonomi di seluruh wilayah Asia karena China merupakan mitra dagang utama bagi sebagian besar negara di kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Di tengah semakin melemahnya neraca perdagangan dan perlambatan ekonomi global, Indonesia kini juga memiliki catatan utang luar negeri (ULN) yang perlu diwaspadai. Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa ULN Indonesia pada akhir kuartal II-2019 sebesar USD391,8 miliar atau sekitar Rp5.485,2 triliun (kurs Rp 14.000 per dolar AS). ULN Indonesia tersebut tumbuh 10,1% secara tahunan (yoy), lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal sebelumnya yang sebesar 8,1% (yoy).
Di tengah lemahnya daya tahan ekonomi dalam negeri, kinerja birokrasi sebagai motor penggerak berbagai kebijakan pun masih menjadi tanda tanya. Reformasi birokrasi yang sempat digaungkan belum juga menunjukkan adanya perubahan.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa aparatur sipil negara (ASN) merupakan aktor yang paling banyak terjerat kasus korupsi pada 2010–2018. Pada 2018, setidaknya terdapat 454 kasus korupsi yang terjadi dengan jumlah tersangka 1.087 orang di mana 34,5% (375 tersangka) di antaranya merupakan ASN.Selanjutnya ICW juga mencatat sepanjang tahun 2004 hingga 2019 terdapat 124 kepala daerah terjerat korupsi dan tahun 2018 menjadi tahun terbanyak kepala daerah yang terjerat korupsi, yakni sejumlah 37 kepala daerah.Peran birokrasi sangat penting bagi keseluruhan aspek pembangunan. Syarat utama tercapainya prioritas pembangunan baik di pusat maupun daerah adalah tata kelola pemerintahannya. Birokrasi yang efektif dan efisien merupakan syarat wajib (necessity) bagi keberhasilan pembangunan. Sebagaimana China, sejarah mencatat bahwa salah satu faktor yang menyebabkan pesatnya perkembangan ekonomi China ialah birokrasi yang kuat dan efektif.
Menciptakan efisiensi birokrasi melalui perubahan nomenklatur kementerian bukan menjadi solusi yang tepat untuk kondisi Indonesia saat ini. Sekilas terlihat mudah, tetapi perubahan tersebut memakan biaya dan waktu yang cukup besar.
Kebijakan tersebut juga dapat menghambat kinerja pemerintah dan kontraproduktif dengan upaya percepatan pembangunan. Berkaca dari pengalaman yang ada, setidaknya Presiden membutuhkan waktu enam bulan untuk menyelesaikan permasalahan akuntansi dan administrasi keuangan negara di setiap kementerian baru.
Berbagai kontroversi kebijakan ekonomi lainnya seperti pembangunan infrastruktur yang telah dilaksanakan secara besar-besaran selama periode pertama pemerintahan Jokowi tersebut kembali mendapatkan dana yang besar dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020, yakni mencapai Rp419,2 triliun. Angka tersebut naik 4,9% dari alokasi anggaran infrastruktur 2019 yang sebesar Rp399,7 triliun.
Perkembangan dan pembiayaan infrastruktur yang selama ini cukup masif masih menyimpan berbagai pertanyaan tentang dampak jangka pendek dan hasil langsung yang dirasakan semua pihak. Untuk itu jika belanja infrastruktur semakin besar di 2020, pertimbangan kemanfaatan jangka pendek perlu diambil untuk menjaga likuiditas pemerintah.
Melihat lemahnya kondisi perekonomian dalam negeri diiringi dengan pelemahan ekonomi global yang terus menghantam, pemerintahan Jokowi dapat memacu pertumbuhan ekonomi dalam negeri dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) atau tenaga kerja Indonesia. Namun fakta menunjukkan bahwa gap skilled dan unskilled labor masih cukup besar.
Anggaran pendidikan dalam RAPBN 2020 yang sebesar 20% sebagaimana telah diamanatkan dalam undang-undang perlu ada perbaikan dalam penggunaan alokasi dana pendidikan. Hal ini penting agar hasil yang muncul lebih baik sehingga tercipta sumber daya yang berkualitas untuk menjaga sustainability industri dan sektor ekonomi lainnya.
Perubahan kabinet baru dengan semangat baru akan membuka harapan baru. Siapa pun yang terpilih dalam susunan kabinet baru, khususnya tim ekonomi, perlu mengedepankan sikap profesional guna menjaga komunikasi dan koordinasi yang baik antarkementerian dan lembaga.
Membangun tim yang solid antarkementerian dan lembaga menjadi kunci utama untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik. Indonesia tidak hanya membutuhkan para menteri yang ahli di bidangnya, melainkan juga harus memiliki kemampuan koordinasi yang baik.
Polemik perseteruan impor beras yang sempat terjadi antarkementerian hingga melibatkan Bulog rasanya tak perlu kembali terulang di periode yang kedua ini. Selamat bekerja Presidenku.
Candra Fajri Ananda Dosen dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya