SECARA kewilayahan, dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19 juga dirasakan di berbagai daerah di Indonesia. Terganggunya kegiatan operasional berbagai sektor di daerah kini terancam mengalami penurunan pendapatan hingga merugi akibat pandemi. Akibatnya, sejumlah sektor pajak yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah pun turut mengalami penurunan akibat pandemi Covid-19, satu diantaranya yakni pajak hiburan, restoran, dan hotel. Tak hanya itu, terkait dana yang bersumber dari Pemerintah Pusat, seperti Dana Alokasi Umum (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU), Transfer Daerah maupun Dana Bagi Hasil (DBH) pun juga ikut berkurang akibat Covid-19. Di samping itu, mata anggaran yang ada dalam APBD juga dialihkan untuk penanganan Covid-19. Ditambah lagi, Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan Menteri Keuangan menyebutkan bahwa program pembangunan minimal 50% dipotong, sehingga akan berdampak pada banyaknya program kerja yang harus ditunda atau di rubah.
Di era pandemi ini, upaya pemerintah untuk mendorong desentralisasi fiskal belum menunjukan perkembangan yang signifikan. Terutama jika dilihat dari ketergantungan akan anggaran pusat yang masih tinggi. Berdasarkan peta kapasitas fiskal daerah (KFD), dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, 9 provinsi masuk kategori KFD sangat rendah, diantaranya adalah Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Bangka Belitung. Selanjutnya, terdapat 8 provinsi tergolong kategori KFD rendah diantaranya Jambi, Bengkulu, dan DI Yogyakarta. Kemudian, 8 provinsi masuk kategori KFD sedang, diantaranya adalah Aceh, Bali, dan Papua Barat. Sebanyak 5 provinsi masuk ketegori KFD tinggi di antaranya adalah Riau, Kalimantan Selatan, dan Banten. Terakhir, hanya terdapat 4 provinsi yang masuk kategori KFD sangat tinggi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Pinjaman Daerah dan Tantangannya
Kebutuhan pembiayaan yang terus meningkat, apalagi di era pandemi ini, tidaklah mungkin ditanggung oleh APBD yang ada saat ini. Diperlukan sumber daya lain, misalnya pinjaman daerah, dimana secara regulasi pemerintah diperbolehkan, untuk menjadi sumber alternatif pembiayaan untuk kepentingan daerah.
Pinjaman daerah dapat menjadi pilihan alternatif daerah dalam mengatasi permasalahan keterbatasan pembiayaan pembangunan. Penggunaan dana ini dapat untuk membiayai segala proyek dan program pembangunan, baik fisik maupun non fisik. Beberapa kemudahan terus dilakukan oleh pemerintah, salah satunya dengan mendirikan PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebagai institusi bisnis milik pemerintah untuk memberikan layanan pada pinjaman daerah ini secara masif, cepat dan terukur.
Meskipun memiliki potensi pinjaman yang relatif besar, namun sebagian besar daerah belum secara optimal memanfaatkan potensi tersebut untuk pembiayaan daerah. Hal ini tercermin dari kapasitas pemanfaatan pinjaman yang kecil dan bahkan tidak pernah melakukan pinjaman sama sekali. Menteri Keuangan menyebutkan bahwa rasio pemerintah daerah yang mampu dan mau melakukan pinjaman ke PT SMI hanya 16% dari seluruh Pemerintah Daerah (Pemda) yang sebetulnya eligible untuk melakukan pinjamana daerah. Data SMI juga menunjukkan bahwa dari 450 daerah yang eligible, hanya 21 Pemda yang melakukan akses dana pinjaman dari SMI.
Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106/2018, pemerintah memberikan batas maksimal kumulatif pinjaman daerah sebesar 0,3% dari PDB. Batasan ini juga berlaku pada tahun-tahun anggaran sebelumnya. Data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa penerimaan pinjaman daerah secara nasional pada 2017 mencapai Rp7,4 triliun. Penarikan pinjaman daerah meningkat menjadi Rp12,2 triliun pada 2018. Namun, pinjaman daerah kembali menurun pada 2019 menjadi Rp9,38 triliun.
Pada aspek pembiayaan anggaran daerah, selama ini pemda cenderung lebih memanfaatkan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) atau menunggu dana APBD sebagai penerimaan pembiayaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa banyak daerah yang masih menggunakan pola pikir konvensional dalam mengelola anggaran. Padahal, PP No. 56/2018 tentang Pinjaman Daerah telah mengamanatkan bahwa pinjaman daerah bermanfaat untuk membiayai infrastruktur, investasi prasarana, hingga sarana daerah dalam rangka pelayanan publik.
Melakukan pinjaman daerah memang tak semudah menunggu turunnya dana transfer dari pemerintah pusat. Sebelum melakukan penarikan pinjaman daerah, Pemda perlu melakukan banyak persiapan. Misalnya adanya dokumen komplit terkait dengan proyek atau program yang akan dibiayai, termasuk feasibility study atas proyek yang akan diajukan pembiayaannya. Selain itu, rendahnya dan volatility PAD (Pendapatan Asli Daerah) menyebabkan rendahnya Pemda enggan mengambil risiko untuk menarik pinjaman daerah. Begitu juga, PP Nomor 56/2018 yang mengamanatkan untuk mendapatkan persetujuan DPRD, merupakan permasalahan lain yang harus diselesaikan oleh pemda. Sangat penting bagi pemda, untuk membangun hubungan yang baik dan konstruktif dengan pihak legislatif untuk membangun daerah secara bersama-sama.
Penguatan Good Governance dan Kualitas SDM
Pada dasarnya, pemerintah daerah memang tidak dapat begitu saja mengakses pasar untuk mendapatkan pinjaman. Meskipun pemerintah pusat secara implisit menjamin pinjaman pemerintah daerah tersebut, namun lembaga pinjaman tetap melakukan pembatasan dan kontrol untuk menghindari kasus gagal bayar yang pada akhirnya akan membebani anggaran pemerintah pusat. Sebagai contoh di Kanada, batasan-batasan mengenai jumlah pinjaman, jenis instrumen pinjaman, jangka waktu, tingkat bunga, dan penggunaan dana pinjaman diatur secara tegas dalam suatu peraturan. Selain itu, di Kolombia, pemerintah daerah untuk dapat melakukan pinjaman harus mendapatkan persetujuan minimal 100 orang pekerja di pemerintahan, sehingga untuk menentukannya diperlukan waktu kurang lebih 1 tahun.
Dasar analisis untuk mengetahui besarnya kapasitas pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah melalui analisis market discipline, direct administrative control, cooperative control, dan rule – based control. Oleh sebab itu, penguatan good governance dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam pemerintah daerah menjadi kunci utama untuk mendorong pinjaman daerah. Hal serupa juga disebutkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, bahwa untuk mendorong kesediaan daerah dalam mengakses pinjaman, pemerintah akan terus memperbaiki penguatan regulasi untuk mendukung perbaikan kualitas SDM di daerah. Melalui pinjaman daerah, pemerintah daerah dapat segera menyelamatkan keberlangsungan pembangunan yang ada di wilayahnya. Pesatnya pembangunan yang terjadi di daerah diharapkan memberikan manfaat positif bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, sekaligus membaiknya kualitas dari layanan publik yang disediakan pemerintah, semoga.
Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia