Dalam rilis Badan Pusat Statistik (BPS) disampaikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2020 mengalami kontraksi cukup dalam, 2,97%. Kondisi ini dibarengi pertumbuhan konsumsi yang mengalami penurunan dalam periode sama, 2,84% (yoy).
Kita semua tahu, konsumsi rumah tangga merupakan porsi terbesar (58,14%) pada pertumbuhan ekonomi sehingga rendahnya pertumbuhan ekonomi ini perlu disikapi dengan mendorong konsumsi rumah tangga melalui bantuan langsung tunai (BLT), pencegahan pemutusan hubungan kerja (PHK), serta kemudahan dan penurunan bea impor bahan baku.
Pemerintah tentu berharap pengeluaran pemerintah yang 3,74% untuk terus dipertahankan bahkan dinaikkan. Segala upaya ini tentu akan kita harapkan muncul pada kuartal ketiga, pertumbuhan kita sudah mulai lebih baik.
UMKM dalam Pandemi
Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memiliki kontribusi besar dan krusial bagi perekonomian Indonesia. UMKM menjadi penting lantaran keberadaannya tersebar di seluruh penjuru negeri dan menguasai sekitar 99% aktivitas bisnis di Indonesia, dengan lebih dari 98% berstatus usaha mikro.
Karena itu, tak mengherankan jika UMKM mampu menyerap 96% tenaga kerja serta berkontribusi 60% terhadap PDB. Begitu besar peran UMKM dalam menyerap tenaga kerja sehingga UMKM mampu mendorong peningkatan pendapatan masyarakat. Artinya, UMKM dapat dianggap memiliki peran cukup strategis dalam memerangi kemiskinan dan pengangguran yang ada di Indonesia.
Bila beberapa tahun silam UMKM dapat tetap berdiri tegak menyelamatkan perekonomian Indonesia ketika krisis global melanda, kini UMKM sedang mengalami keterpurukan yang mendalam akibat Covid-19. Terlebih, tak semua UMKM bisa beralih ke online. Bagi usaha kecil, pandemi ini seketika membuat usaha langsung terkapar.
Untuk kategori menengah, dengan sekuat tenaga mereka hanya dapat bertahan tak lebih dari tiga bulan. Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Koperasi dan UMKM, hingga pertengahan April ini tercatat 37.000 pelaku UMKM melaporkan keterpurukan yang mereka alami. Jumlahnya tentu akan membesar seiring lamanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah.
Keterpurukan UMKM menjadi sangat krusial mengingat pentingnya peran UMKM dalam perekonomian nasional, khususnya dalam menyerap tenaga kerja. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) bidang UMKM menyebutkan bahwa jika diakumulasi dengan korban PHK dari sektor UMKM, angka tersebut mencapai 15 juta jiwa. Jumlah korban PHK lebih besar dari jumlah yang telah dirilis oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) karena jumlah tersebut belum ditambah UMKM yang juga turut terdampak.
Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan bahwa kendala terbesar yang dikeluhkan (56%) adalah menurunnya penjualan atau permintaan pasar. Faktor dominan kedua yang banyak dilaporkan oleh pelaku UKM adalah permasalahan permodalan (22%). Selain itu, distribusi dan operasional (15%) juga menjadi faktor yang dikeluhkan, di samping kesulitan terhambatnya bahan baku dan produksi.
Keterpurukan industri kecil menengah (IKM) terjadi di semua bidang, termasuk IKM yang bergerak di bidang ekspor. Masalah berupa keterbatasan alat angkut dari udara maupun laut yang mengakibatkan perubahan jadwal pengiriman, lalu terdapat beberapa negara tujuan yang melakukan kebijakan lockdown sehingga terjadi penundaan atau bahkan pembatalan permintaan barang kini menjadi masalah-masalah yang harus dihadapi IKM ekspor.
Akibat berbagai masalah tersebut terjadilah penurunan ekspor ke seluruh negara tujuan rata-rata 52%. Kini IKM ekspor hanya mampu bertahan untuk produksi rata-rata selama tiga bulan.
Stimulus Penyelamatan UMKM
Turunnya daya beli masyarakat menjadi salah satu dampak negatif dari penyebaran pandemi Covid-19 di Indonesia. Sebagai upaya mengatasi kondisi ini, maka penting bagi pemerintah untuk memaksimalkan penyaluran bantuan sosial maupun jaringan pengaman sosial (JPS). Hingga kini setidaknya terdapat beragam bentuk bantuan sosial yang disiapkan pemerintah sesuai dengan fungsi masing-masing, di antaranya Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, bantuan sosial tunai, bantuan pangan nontunai (BPNT), bantuan langsung tunai (BLT) desa. Berbagai bantuan tersebut diharapkan bisa menopang tingkat konsumsi rumah tangga, termasuk bagi masyarakat terdampak, yang selanjutnya dapat mendorong transaksi bagi produk UMKM.
Selain itu, pemerintah mempersiapkan skema dukungan likuiditas untuk perbankan yang melakukan restrukturisasi kredit atau memberikan tambahan kredit modal kerja khususnya kepada UMKM. Skema dukungan likuiditas tersebut berjumlah Rp34,15 triliun dalam bentuk subsidi bunga untuk penerima bantuan sebanyak 60,66 juta rekening yang mendapatkan restrukturisasi kredit. Dalam kebijakan ini, bank berhak menentukan debitur yang dinilai terdampak, untuk kemudian melakukan restrukturisasi kredit.
Program lain dalam rangka counter cyclical yang diambil pemerintah untuk membantu segmen UMKM berupa subsidi bunga (Rp34,15 triliun), insentif perpajakan (PPh pasal 21 DTP, PPh Final UMKM DTP) senilai Rp28,06 triliun, serta penjaminan untuk kredit modal kerja baru sebesar Rp125 triliun.
Memang masalah UMKM bukan hanya pendanaan, melainkan juga terdapat permasalahan adopsi teknologi, pengembangan produk, dan perluasan pasar. Hasil penelitian Kementerian Koperasi dan UMKM menunjukkan bahwa masalah penting lain yang dihadapi oleh UMKM adalah rendahnya kualitas teknologi yang menyebabkan produktivitas dan kualitas produk UMKM juga menjadi rendah.
Rendahnya kualitas produk UMKM menyebabkan mereka sulit memasarkan produknya ke pasar bebas sehingga UMKM harus terus terikat pada pembeli tradisional, yaitu kelompok pemilik modal. Karena itu, perlindungan pada UMKM tidak hanya fokus pada pendanaan, jawaban lainnya masih tetap harus dilakukan. Kerja sama antarlembaga dan manajemen pengelolaan seluruh permasalahan menjadi kunci keberhasilan. Kita berharap hasil positif pada kuartal ketiga tahun ini, semoga.
Prof Candra Fajri Ananda Ph.D
Staf khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia