Usaha Padat Karya yang Berdaya Saing

Pandemi Covid-19 yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir telah semakin nyata berdampak pada sejumlah ekonomi negara di dunia. Singapura menjadi salah satu negara yang memasuki zona resesi setelah ekonominya mengalami penurunan hingga 41,2% pada kuartal II/2020.

Pernyataan resesi Singapura tersebut didefinisikan setelah dua kuartal berturut-turut ekonomi negara tersebut mengalami kontraksi. Sebelumnya, pada kuartal I/2020, Singapura melaporkan ada kontraksi ekonomi 3,3% dibanding kuartal sebelumnya. Buruknya kinerja ekonomi Singapura pada kuartal II/2020 terjadi karena beberapa langkah penutupan pada sebagian wilayah negara tersebut guna memutus dan mengurangi penyebaran Covid-19.

Tak dapat dihindari bahwa pandemi Covid-19 memberikan ancaman besar bagi berbagai negara yang mengandalkan sektor perdagangan, pariwisata, dan berbagai industri penunjangnya, seperti hotel dan restoran. Sektor pariwisata di Singapura menjadi korban terdepan akibat Covid-19. Ini dapat terlihat di sektor penerbangan, perhotelan, dan restoran yang terpaksa berhenti di tengah wabah. Berdasarkan data produk domestik bruto (PDB) Singapura, sektor jasa menyusut 37,7% pada kuartal II atau sebesar 13,6% dibandingkan tahun sebelumnya.

Sebagaimana Singapura, Indonesia pun kini berada di ambang resesi akibat Covid-19. Sektor perdagangan dan pariwisata Indonesia telah terdampak sangat dalam. Hasil kajian Sarana Multi Infrastruktur (SMI) menyebutkan bahwa badai pandemi telah memukul pertumbuhan sektor perdagangan cukup signifikan, khususnya sektor UMKM. Selain itu, pariwisata yang selama ini digadang-gadang sebagai sumber kontribusi devisa terbesar kedua bagi Indonesia juga kini tak berdaya menghadapi badai Covid-19.

Hasil riset berdasarkan data Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) hampir 80% pengusaha di sektor pariwisata mengalami penurunan omzet. Selain itu, data CNN juga menunjukkan bahwa penurunan pada sektor pariwisata tersebut juga berimbas pada okupansi hotel yang juga mengalami penurunan sekitar 60% – 80%.

Mitigasi Sektor Usaha yang Mampu Bertahan

Meskipun hantaman pandemi Covid-19 melumpuhkan sebagian besar dunia usaha, masih terdapat beberapa sektor bisnis yang juga mampu bertahan di tengah pandemi saat ini. Hingga kini setidaknya terdapat lima sektor bisnis yang dinilai mampu bertahan selama masa pandemi, di antaranya bisnis makanan dan minuman atau food and beverage (F&B), usaha penjualan kebutuhan bahan pokok, sektor jasa atau produk kesehatan, usaha jasa pendidikan dan pelatihan, serta bisnis sektor digital.

Hasil kajian SMI menyebutkan bahwa secara nasional, Informasi dan komunikasi menjadi sektor unggulan bagi seluruh provinsi di Jawa. Adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang membatasi mobilitas penduduk dan kontak secara langsung menyebabkan permintaan terhadap sektor telekomunikasi mengalami peningkatan.

Permintaan terhadap layanan data, telekomunikasi dan internet diperkirakan tetap tumbuh sehubungan beralihnya aktivitas masyarakat dari kantor, pusat perbelanjaan, dan sekolah ke rumah masing-masing. Kebiasaan tersebut diperkirakan berlanjut pada masa new normal sehingga dapat mendukung kinerja sektor telekomunikasi.

Berbagai sektor usaha dipaksa untuk terus beradaptasi di masa sulit. Adaptasi yang lebih maju pada saat sulit adalah dengan melakukan berbagai inovasi, di mana sektor usaha melakukan suatu tindakan kreatif yang sistematis dan terencana dengan proyeksi masa depan

Salah satu bentuk inovasi bagi dunia usaha yang dapat dilakukan di masa pandemi ini ialah “bersahabat” dengan teknologi. Para pelaku usaha kini harus berani manfaatkan penjualan secara daring, sebab terhubung dengan ekosistem digital akan memudahkan masyarakat untuk mengakses berbagai produk usaha yang diperdagangkan. Selain inovasi melalui teknologi, para pelaku usaha kini juga perlu lebih adaptif dalam menyikapi pandemi. Adaptif dalam hal ini ialah mengalihkan produksi bisnisnya ke berbagai barang yang diperlukan konsumen saat ini. Digitalisasi dan bisnis yang adaptif merupakan dua hal penting yang kini dapat menjadi senjata bagi pelaku usaha untuk mampu bertahan selama masa pandemi.

Sebagai upaya mendukung sisi suplai, kehadiran pemerintah melalui bantuan modal dan insentif pajak dapat menjadi angin segar bagi para pelaku usaha untuk mampu bertahan selama pandemi. Berdasarkan perincian dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah telah menyiapkan dana subsidi bunga bagi UMKM, dunia usaha, dan masyarakat sebesar Rp34,12 triliun, untuk insentif perpajakan kepada UMKM, dunia usaha dan masyarakat sebesar Rp123,01 triliun, dan untuk penjaminan untuk kredit modal kerja baru bagi UMKM sebesar Rp6 triliun.

Selain mendorong sisi suplai, saat ini pemerintah juga perlu mendorong sisi permintaan dengan mempertahankan daya beli masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut tingkat konsumsi rumah tangga melemah signifikan menjadi 2,84% pada kuartal I/2020. Angka tersebut turun drastis dibandingkan dengan kuartal I/2019 yang mencapai 5,02%.

Selain itu, data BPS juga menunjukkan bahwa angka inflasi terpantau terus mengalami penurunan dalam beberapa bulan terakhir selama masa pandemi. Hingga Juni, BPS mencatat bahwa inflasi sebesar 0,18% (month-to-month) pada Juni 2020, di mana angka tersebut lebih rendah dari Juni tahun sebelumnya, yakni 0,55%.

Perlambatan transaksi ekonomi telah terasa sejak Maret lalu dan belum membaik hingga Juni. Lesunya tingkat konsumsi ini disebabkan oleh terbatasnya mobilitas masyarakat. Sejak Covid-19 menyebar di Indonesia, jumlah PHK perlahan terus bertambah.

Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah PHK mencapai 1,7 juta orang hingga 8 Juli 2020. Hilangnya pemasukan masyarakat, otomatis menggerus daya beli dan memicu kontraksi pertumbuhan ekonomi. Melalui PEN, dukungan anggaran sebesar Rp172,1 triliun telah digulirkan pemerintah untuk mendorong sisi konsumsi, melalui subsidi atau bantuan sosial.

Bagaimana Fokus Ekonomi Indonesia?

Ekonomi China mencatat pertumbuhan positif pada kuartal II/2020 sebesar 3,2% secara tahunan. Sektor manufaktur mendorong pemulihan ekonomi di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu. Pertumbuhan ini dicapai setelah status penutupan sejumlah wilayah di negara itu dicabut, diiringi pembukaan berbagai pabrik dan toko. Capaian ini merupakan pembalikan arah positif dari tekanan ekonomi yang terjadi di negara tersebut.

Pertumbuhan positif menggambarkan bahwa aktivitas ekonomi China telah kembali bergeliat pascakebijakan lockdown dicabut. Pemulihan ekonomi di China tersebut dapat memberikan dampak positif bagi aktivitas ekonomi Indonesia. Sebagai mitra dagang, Indonesia harus mengambil peluang atas membaiknya pertumbuhan ekonomi China tersebut dengan menjadikan China sebagai negara tujuan ekspor dan mengimpor bahan baku industri dalam negeri dari Negeri Tirai Bambu tersebut.

Menjaga daya saing produk ekspor masih menjadi kunci utama agar produk Indonesia mampu bersaing dengan produk negara tujuan ekspor. Bagi pemerintah, seharusnya menjaga kemampuan industri untuk dapat terus berproduksi dan fokus pada daya saing produk selama masa pandemi lebih menjadi prioritas daripada berpikir untuk membebani produsen melalui pungutan pajak. Insentif pajak saat ini akan lebih banyak memberikan dampak positif bagi kelangsungan aktivitas ekonomi secara menyeluruh daripada meningkatkan beban produsen melalui pungutan pajak. Oleh sebab itu, dukungan pemerintah untuk mendorong ketahanan industri melalui PEN diharapkan dapat menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi akibat pandemi. Semoga!

Prof Candra Fajri Ananda Ph.D
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Scroll to Top
Skip to content