BANK Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan lima kali dengan total sebesar 125 basis poin (bps) atau 1,25% sepanjang 2020. Terbaru, pada November 2020, BI memutuskan untuk kembali menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 bps, dari level 4% menjadi 3,75%.
Penurunan suku bunga acuan tersebut mempertimbangkan perkiraan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga, dan sebagai langkah lanjutan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Selain itu, BI memandang laju penyaluran kredit perbankan masih berjalan lambat karena permintaan yang lemah dan kehati-hatian perbankan akibat berlanjutnya pandemi Covid-19.
Lambatnya laju penyaluran kredit terlihat melalui data yang menunjukkan bahwa kredit perbankan hanya tumbuh 0,47% menjadi Rp5.480 triliun pada Oktober 2020. Lemahnya pertumbuhan kredit saat ini tak lain akibat pandemi Covid-19 yang belum berakhir, bahkan terus menunjukkan peningkatan. Hal ini berdampak pada terganggunya aktivitas bisnis sebagai dampak kebijakan pengetatan aktivitas sosial yang diterapkan di sejumlah daerah. UMKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional, juga terpukul paling depan. Data menunjukkan bahwa terdapat dana kurang lebih Rp1.200 triliun yang mengendap di industri perbankan. Jumlah data tersebut dihitung dari rasio kredit terhadap simpanan bank atau loan to deposit ratio (LDR) pada periode Oktober 2020 yang melonggar ke level 82,79%. Angka ini jauh dari kondisi biasanya yang ada di kisaran 92%.
Peningkatan Belanja Pemerintah
Bagai abu di atas tanggul, menghadapi kondisi ekonomi di tengah pandemi bukanlah sesuatu yang mudah. Selama masa pandemi, relaksasi yang diberikan perbankan sangat besar dengan restrukturisasi kredit mencapai Rp1.000 triliun. Keringanan ini tak lain mengakibatkan terpangkasnya pendapatan perbankan.
Data menunjukkan margin perbankan tergolong tertekan dengan penurunan suku bunga dan relaksasi restrukturisasi kredit tahun ini. Margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) yang di awal tahun masih 4,96%, turun menjadi 4,43% pada Agustus tahun ini. Bahkan, laba bersih perbankan tahun ini diproyeksikan bisa terpangkas hingga 40% dari pencapaian tahun lalu. Oleh sebab itu, akan menjadi polemik bagi perbankan ketika suku bunga acuan kembali diturunkan mengingat NIM perbankan telah mengalami tekanan saat ini.
Kita tidak bisa berharap banyak dari sektor perbankan meski tingkat bunga acuan telah diturunkan. Penurunan bunga kredit tak akan serta merta meningkatkan keinginan masyarakat untuk mengambil fasilitas baru. Pasalnya, di tengah ketidakpastian yang tinggi, pelaku usaha lebih cenderung melakukan pelunasan kredit, sekaligus menempatkan belanja modal kerjanya pada simpanan berjangka. Pada kondisi ini, kehadiran pemerintah melalui kebijakan fiskal sangat diperlukan untuk mendorong ekonomi nasional. Pemerintah perlu mengkaji ulang berbagai program yang mampu memberikan dampak signifikan bagi pemulihan ekonomi.
Sejak terjadinya pandemi, daya beli masyarakat terpantau rendah. Selain dikarenakan tidak bisa memiliki banyak kesempatan untuk bergerak, masyarakat juga memiliki keterbatasan dana untuk dibelanjakan. Rendahnya permintaan ini kemudian menyebabkan munculnya deflasi atau penurunan harga-harga barang di pasaran.
Bahkan, banyak produsen yang menawarkan harga diskon hanya demi menghabiskan stok. Pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) berupaya memberikan berbagai bentuk bantuan untuk menstimulus ekonomi nasional. Hingga 18 November 2020, realisasi penyerapan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mencapai Rp408,61 triliun atau 58,7% dari pagu anggaran Rp695,2 triliun. Alternatif Pembiayaan Dalam ekonomi klasik, hukum Say, menyatakan bahwa produksi agregat selalu menciptakan jumlah permintaan agregat yang sama. Substansi hukum Say adalah memperkuat keyakinan bahwa pasar mampu menjadi alat alokasi sumber daya yang efisien lewat proses pertukaran. Pada kondisi saat ini, pihak yang memiliki kemampuan untuk menciptakan permintaan adalah pemerintah melalui belanja pemerintah. Di sisi lain, implikasi dari kebijakan tersebut adalah defisit APBN yang melebar dan semakin sempitnya ruang fiskal. Pada akhirnya, melebarnya defisit APBN perlu didukung oleh pembiayaan di tengah menurunnya realisasi penerimaan negara. Defisit pada awal 2020 diproyeksikan sebesar 1,76 % PDB. Setelah terjadi pandemi, pemerintah menetapkan pelebaran defisit lebih dari 3% menjadi 5,07% dari Produk Domestik Bruto (PDB) berdasarkan Perpres No 54/2020 dan selanjutnya meningkat menjadi 6,34% PDB berdasarkan Perpres No 72/2020. Meski demikian, untuk APBN 2021 pemerintah telah menetapkan defisit yang lebih kecil dari tahun sebelumnya, yakni sebesar 5,7% atau sebesar Rp1.006,4 triliun. Krisis pandemi Covid-19 juga membuat akumulasi utang pemerintah menjadi tidak terelakkan. Selama ini utang masih mendominasi sumber pembiayaan pemerintah. Instrumen utang yang digunakan pemerintah berupa Surat Berharga Negara (SBN) dan Pinjaman. SBN terdiri atas Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBBN). Akan tetapi, nominal utang bukan satu-satunya indikator untuk mengetahui tingkat keamanan atau solvabilitas pemerintah. Rasio utang pemerintah masih termasuk dalam batas aman antara 37,64% sampai 38,50% PDB. Artinya, selama rasio dimaksud masih terkendali, pemerintah masih memiliki kapasitas untuk mengembalikannya. Masa pandemi dengan segala ketidakpastiannya masih akan terus membutuhkan pembiayaan besar dari pemerintah untuk menstimulus ekonomi. Oleh sebab itu, kini pemerintah perlu segera mencari alternatif sumber pembiayaan lain selain utang. Pengelolaan wakaf melalui Cash Wakaf Linkage to Sukuk (CWLS) dapat menjadi salah satu opsi alternatif sumber pembiayaan bagi pemerintah untuk menutup defisit anggaran. Kementerian Keuangan menawarkan Cash Waqf Linked Sukuk Ritel seri SWR 001 kepada wakaf individu dan institusi untuk pengembangan investasi sosial maupun wakaf produktif di Indonesia. Selain CWLS, opsi kedua yang dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan lain untuk menutup defisit adalah melalui pengelolaan aset. Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) harus mampu mengoptimalkan berbagai aset negara agar produktif dan memiliki nilai tambah. Dana dari pemanfaatan aset tersebut akan sangat berguna untuk membantu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang menghadapi tekanan akibat pandemi Covid-19. Data menunjukkan bahwa saat ini LMAN telah mengelola 234 aset milik negara dengan nilai aset mencapai sekitar Rp38,49 triliun dan harus terus dioptimalkan pemanfaatannya. Selain mengupayakan optimalisasi alternatif sumber penerimaan negara, pemerintah juga perlu terus membangun kepercayaan diri masyarakat untuk melakukan konsumsi dan investasi untuk mempercepat pemulihan ekonomi di masa pandemi. Fenomena pola sebagian besar masyarakat saat ini lebih memilih untuk menabung dibandingkan membelanjakan uangnya. Hal itu justru akan semakin memperlambat Indonesia keluar dari jerat resesi, karena konsumsi yang menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia akan turut terhambat. Padahal, saat ini dua komponen penting untuk mendorong pemulihan ekonomi adalah konsumsi dan investasi. Pandemi yang terjadi saat ini memberikan banyak pelajaran bagi kehidupan berbangsa, termasuk dalam kerangka transformasi perekonomian untuk bisa keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap). Kita tetap harus bergerak maju dengan segala keterbatasan, karena gerakan perubahan menuju Indonesia Emas 2045 tetap harus dijalankan dengan segala sumber daya yang ada. Semoga.
Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia