ISTILAH Creative destructionini ditelurkan oleh ekonom berkebangsaan Austria Joseph A Schumpeter medio 1940-an. Pengertian awalnya merujuk gagasan perlunya seorang kapitalis untuk melakukan destruksi (pengrusakan) yang membangun. Pada awalnya memang konsep ini terdengar nyeleneh, karena bagaimana mungkin sebuah kerusakan bisa melahirkan pembangunan. Akan tetapi lambat laun semuanya mulai diterima, sebab secara alamiah sistem dan metode ekonomi akan selalu berubah pada saat mengalami kejumudan.
Ide Schumpeter ini juga seolah-olah menunjukkan betapa investasi untuk inovasi sangat diperlukan, terutama untuk mendobrak keterbatasan sumber daya dengan cara atau pendekatan baru. Para kapitalis diadu untuk melahirkan ekuilibrium yang paling menguntungkan banyak pihak. Destruction kemudian terus berkembang menjadi disruptive yang pada dasarnya merupakan inisiasi untuk melahirkan inovasi dan kreativitas. Disrupsi ekonomi berupaya menemukan titik-titik efisiensi baru melalui sederet pembaruan yang didalamnya juga membutuhkan biaya ekonomi (investasi).
Pada saat perekonomian mengalami pelambatan, baik dari sisi produksi atau sisi permintaan (daya beli melemah), maka investasi adalah solusi untuk masalah tersebut. Ketika investasi tidak kunjung datang, maka suatu “keniscayaan” untuk melahirkan inovasi dan kreativitas dalam pengelolaan sumber daya. Inovasi dan kreativitas diharapkan dapat memompa hasil produksi yang lebih baik, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Kondisi perekonomian kita, seperti saat ini, menuntut kita untuk semakin serius bergerak pada pola disrupsi. Disrupsi bukan sekadar mendestruksi “pakaian” lama menjadi baru, tetapi juga beranjak pada sistem-sistem yang lebih segar dan menjanjikan. Kita saat ini tengah menghadapi tekanan perekonomian yang sangat kuat. Produksi kita tersandera dengan ketergantungan terhadap bahan baku dan bahan penolong impor. Daya beli juga terus terancam seiring kenaikan produk-produk secara gradual. Harapan untuk investasi di sektor riil juga tengah “freezes up” karena biaya kelembagaan kita yang tergolong mahal.
Persoalan struktural pada neraca perdagangan juga membuat kita sedang sulit mengharapkan surplus. Selain itu neraca pembayaran kita juga pasang surut karena berpola antithesis dengan pertumbuhan ekonomi. Saat kita ingin produksi dan konsumsi bisa meningkat, maka neraca impor juga akan meningkat. Bisa dikatakan bahwa ketergantungan impor kita ini, terbukti mereduksi ketahanan ekonomi kita.
Atas dasar fakta tersebut, kita tidak bisa sekadar berpangku tangan menunggu investasi mampir ke negara kita. Secara agresif seharusnya kita mau membuat inovasi, keluar dari zona nyaman (kebiasaan), serta mengembangkan cara-cara baru yang tentu lebih efisien dan memberikan daya dorong yang positif. Kita juga menyadari bahwa untuk saat ini creative destruction atau disruptive economy masih tergolong sebagai sumber daya yang paling mahal, namun tidak lantas kita tidak jadi mengarah ke sana. Justru sekarang ini momentum yang tepat bagi pemerintah untuk menularkan virus creative destruction-nya melalui kebijakan-kebijakan kreatif di sektor publik. Hal yang sering terjadi, inovasi yang dilakukan dalam kebijakan publik, malah sering keluar dari koridor hukum. Untuk itu, inovasi yang dilakukan sebaiknya masih dalam kerangka governance yang memang menjadi dasar dari semua inovasi yang akan dilakukan.
Katakanlah cara tercepat untuk melahirkan generasi kreatif adalah melalui investasi sumber daya manusia (SDM), maka kunci pembangunan ekonomi bangsa ke depannya dapat kita raih jika ada perbaikan pada kualitas pendidikan, infrastruktur sosial dan fisik, serta pengembangan research and development (R&D) yang multiguna. Pembangunan SDM juga perlu diarahkan untuk menjawab kebutuhan pasar, sehingga butuh pembentukan kurikulum yang menjembatani visi di dunia pendidikan dengan misi di dunia kerja. Dunia-dunia pendidikan vokasi (misal SMK dan perguruan tinggi vokasi) seharusnya juga mulai merangkul para praktisi sebagai tenaga pengajarnya. Jadi para siswa dan mahasiswanya tidak sekadar belajar secara normatif, melainkan juga ditantang berani melakukan praktik-praktik inovasi yang berkembang di dunia usaha. Mereka perlu diajarkan untuk berani berbenah dan berubah.
Pola-pola ekonomi kreatif di sektor industri juga seharusnya tidak terbatas pada industri yang sifatnya heritage dan tradisional saja, tetapi industri-industri lainnya juga membutuhkan inovasi dan kreativitas agar mampu menjaga eksistensinya di era persaingan tak terbatas ini. Apalagi sektor industri juga disinyalir sebagai penyumbang utama perpajakan kita, sehingga perlu terus dijaga masa depannya. Lantas, apa yang perlu dikerjakan pemerintah? Pertama, pemerintah perlu mengajak masyarakat untuk belajar menerima persaingan.
Pada intinya persaingan adalah sebuah keniscayaan ekonomi, karena keterbatasan sumber daya akan membuat kita saling berebut kekayaan. Belum lagi dengan karakter manusia sebagai homo economicus yang seringkali kebablasan dalam menerjemahkan kebebasan berekonomi. Nah sebetulnya disini letak peran penting pemerintah. Pemerintah pada hakikatnya merupakan penyeimbang pasar agar tidak bergerak liar hingga mendatangkan konflik horizontal dan krisis sosial.
Salah satu konsekuensi dari sebuah kompetisi adalah monopoli atau kanibalisme. Dan dalam hal ini pemerintah perlu membatasi ancaman-ancaman tersebut. Kerangka regulasi menjadi cara terdekatnya, sembari mempersiapkan langkah-langkah jangka panjang agar kesempatan ekonomi dapat menjadi hak-hak egaliter bagi setiap individu di Indonesia. Misalnya melalui jaminan akses pendidikan, kesehatan, serta teknologi informasi yang layak bagi setiap individu, baik untuk golongan kaya ataupun miskin.
Pemerintah juga perlu mengawasi praktik-praktik persaingan yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak sehat. Misalnya muncul ancaman dari produsen terhadap konsumen jika mereka berpindah pada produk sejenis tetapi beda merk/produsen. Jadi secara ringkas, pemerintah perlu menggagas “perang” ekonomi dengan cara-cara yang menyehatkan. Namun perlu dipersiapkan juga metode-metode pengembangan behaviour agar tidak menjadi bencana di masa depan.
Kedua, pemerintah perlu menjembatani agar sektor-sektor formal dan informal bisa mengadopsi tren otomatisasi dan digitalisasi sebagai bahan baku persaingan, khususnya untuk efisiensi produksi dan pemasaran. China merupakan salah satu success story dimana mereka bisa mengelola kebangkitan e-commerce untuk meningkatkan konektivitas di daerah perdesaan. Kita pun juga sebetulnya bisa mengadopsinya. Karena berdasarkan fakta-fakta di lapangan, sebetulnya kita memiliki potensi yang hebat dalam hal produksi karya-karya kreatif tetapi kita lemah di sisi pemasaran (marketing).
Sebagai negara multikultural, kita memiliki gaya yang khas minimal dari sisi budaya, kuliner, fesyen, maupun produk-produk kerajinan. Oleh sebab itu kita jangan terlalu alergi (antipati) dengan perkembangan teknologi, karena beberapa negara sudah membuktikannya bahwa mereka bisa mengawinkan secara sempurna kemampuan teknologi dengan produksi. Justru kita seharusnya bisa memanfaatkan kondisi yang ada agar kita tidak ketinggalan nilai-nilai manfaatnya. Keberadaan teknologi juga bisa memutus mata rantai ketimpangan informasi (khususnya marketing) yang selama ini hanya bisa dijangkau oleh pemodal-pemodal besar.
Jadi masyarakat kita yang berada di kategori marjinal perlahan-lahan bisa meningkatkan kapasitas interaksi pasarnya dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Kawasan perdesaan yang selama ini merasa pembangunannya relatif terabaikan seharusnya sudah sadar untuk mulai menunjukkan tajinya. Dengan adanya dana desa dan sumber daya fiskal lainnya, maka sudah waktunya desa mulai unjuk gigi memamerkan produk-produk tradisionalnya tetapi memiliki nilai tambah ekonomi yang tinggi seperti halnya karakter ekonomi perkotaan.
Pekerjaan rumah pemerintah yang paling utama saat ini, tentu memberikan kepastian hukum, ketersediaan tenaga kerja terampil, dan ketersediaan infrastruktur yang memiliki spillover sebanyak-banyaknya. Infrastruktur yang mampu mendorong biaya logistik yang lebih murah. Sebab jika tidak, maka efektifitas infrastruktur yang dibangun dengan biaya mahal akan menjadi kurang optimal dan dampak positif yang ditimbulkan akan muncul di waktu yang lebih lama.
Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya