Pandemi belum juga menepi meski telah dua tahun berlalu. Covid-19 pun menimbulkan luka yang cukup dalam bagi Indonesia. Tak sedikit dampak yang ditimbulkan akibat pandemi, salah satunya di sektor ekonomi. Di tengah harapan besar terjadinya pemulihan ekonomi, kini babak baru pandemi muncul seiring hadirnya varian baru dari Covid-19. Kehadiran varian Omicron membawa terjadinya kembali lonjakan kasus positif Covid-19 di beberapa daerah di Indonesia.
Bank Indonesia (BI) menyebut bahwa krisis ekonomi yang terjadi akibat pandemi Covid-19 secara global menjadi salah satu yang terburuk dalam sejarah. Ini karena beratnya beban yang harus dipikul masing-masing negara dalam mencari solusi titik keseimbangan untuk memutus mata rantai penularan virus sekaligus menjaga proses pemulihan ekonomi. Kondisi ini membuat dua kerja besar yakni memutus rantai penyebaran virus dan menjaga ekonomi Indonesia agar tetap tumbuh. Maka, bisa diibaratkan pandemi dan ekonomi adalah dua tubuh di ujung ayunan yang perlu dijaga kesimbangannya.
Tak dapat dimungkiri bahwa pemulihan ekonomi yang kini berlangsung setelah terkontraksi pada 2020 mendapat tantangan baru dari penyebaran varian Omicron. Secara umum, perekonomian Indonesia selama 2021 telah mengalami pemulihan yang ditopang oleh stimulus kebijakan, vaksinasi, dan relaksasi restriksi mobilitas. Akan tetapi, lonjakan kasus Covid-19 akibat Varian Omicron berpotensi kembali menimbulkan adanya pemberlakuan containment measures yang dapat berimplikasi pada tertahannya konsumsi dan produksi.
Kini, hampir seluruh provinsi di Indonesia mengalami kenaikan kasus Covid-19, di mana lebih dari 90% penambahan kasus nasional disumbang oleh provinsi-provinsi di Pulau Jawa. Lonjakan kasus Covid-19 tersebut tak hanya memberi alarm bagi sektor kesehatan saja, melainkan juga sektor ekonomi. Pasalnya, perekonomian nasional masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Hal itu tercermin dari struktur perekonomian Indonesia yang secara spasial masih didominasi pertumbuhan provinsi di Jawa, dengan kontribusi PDB 57,89%.
Ketimpangan struktur perekonomian pulau-pulau di Indonesia masih cukup tinggi. Pulau Sumatera tercatat berkontribusi 21,7% terhadap PDB, lalu Kalimantan 8,25%, Sulawesi 6,89%, Bali dan Nusa Tenggara 2,78%, serta Maluku dan Papua 2,49% terhadap PDB. Tingginya perbedaan tingkat perekonomian antarwilayah di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya jumlah penduduk dan keberadaan industri penyerap tenaga kerja dalam jumlah besar yang masih banyak terkonsentrasi di Pulau Jawa. Kondisi tersebut mau tidak mau berpengaruh pada respons dan reaksi pemulihan ekonomi yang terjadi. Respons Daerah dalam Pemulihan Ekonomi Upaya untuk membangkitkan kembali perekonomian bangsa yang sempat terhantam badai pandemi sejatinya harus dimulai dari daerah-daerah agar fondasi baru ekonomi negara kian kuat. Akan tetapi, pemulihan ekonomi di setiap daerah akan memiliki bobot tantangan yang berbeda satu sama lain.
Daerah dengan basis ekonomi sektor jasa, khususnya pariwisata, akan memiliki bobot tantangan yang lebih tinggi untuk melakukan pemulihan ekonomi dibandingkan dengan daerah lain yang memiliki basis ekonomi di bidang pertanian. Hal itu diperkuat dengan data BPS yang menunjukkan bahwa pada 2021, Bali dan Nusa Tenggara hanya mencatat pertumbuhan ekonomi 0,07% dengan kontribusi 2,78%. Rendahnya pertumbuhan kedua wilayah ini tak lepas dari belum pulihnya sektor pariwisata akibat pandemi Covid-19.
Daerah yang pertumbuhan ekonominya bertumpu pada sektor pariwisata sulit untuk bertahan selama angka penularan Covid-19 belum dapat teratasi secara masif. Di sisi lain, sektor pertanian dalam dua tahun terakhir ini khususnya di masa pandemi Covid-19 berhasil menjadi penyangga utama pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu pertanian mengalami pertumbuhan positif di saat sektor lain mengalami kontraksi. Kabupaten Malang, Kota Batu, Jawa Timur sebagai daerah pertanian termasuk holtikultura adalah salah satu daerah yang berhasil meningkatkan perekonomiannya untuk tetap tumbuh dan cepat dalam pemulihan ekonomi.
Sejatinya, terdapat beberapa instrumen kebijakan dari pemerintah pusat yang dapat digunakan oleh daerah sebagai pendorong pemulihan ekonomi di daerahnya. Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) pada 2022 tetap difokuskan untuk mendukung pemulihan ekonomi daerah dan menjaga kesehatan. Oleh sebab itu, meski berada di tengah ketidakpastian ekonomi akibat pandemi, pemerintah daerah perlu terus mengoptimalkan pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) agar transfer ke daerah dan dana desa dapat dimanfaatkan untuk mendorong penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Selama ini, fakta menunjukkan bahwa APBD di daerah belum 100% optimal satu sinergi dengan APBN. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab perbedaan dan lambannya laju pemulihan ekonomi di daerah. Selain masalah kapasitas fiskal daerah, struktur perekonomian, termasuk struktur APBD adalah beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan dan kecepatan pemulihan perekonomian daerah. Dengan demikian kemampuan manajerial dan mengelola hubungan kelembagaan di tingkat daerah menjadi krusial dalam mewujudkan program pemulihan ekonomi. Leadership yang kuat dan dekat dengan masyarakat akan sangat membantu dalam mendesain dan mengimplementasikan kebijakan daerah.
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI