KATA “Target” dalam beberapa waktu terakhir menjadi sebuah kata yang sering diperbincangkan di berbagai institusi, termasuk di instansi pemerintahan. Menjelang penghujung tahun, hampir seluruh institusi saat ini dihadapkan pada seberapa besar pencapaian target yang telah dicanangkan di awal tahun.
Bagi yang telah mendekati pencapaian, akan lebih ringan dalam menatap tahun 2020. Sebaliknya, bagi yang masih jauh dari pencapaian target, harus melakukan perubahan dan menyusun strategi baru pada tahun mendatang. Tanpa perubahan yang signifikan, pencapaian target bisa dipastikan akan sama dan akan mengalami pencapaian dibawah target sebagaimana tahun ini.
Dr Edwin Locke dalam artikelnya menyatakan bahwa target yang jelas dan fokus akan menghasilkan perbaikan kinerja organisasi terus menerus, daripada memiliki target yang terlalu umum dan tidak fokus.
Bagi setiap organisasi, memiliki target merupakan suatu keharusan untuk menjadikan organisasi tersebut terus berkembang dan tumbuh positif. Selain itu, penting juga bagi setiap organisasi untuk membuat indikator keberhasilan yang disepakati bersama agar organisasi tersebut menjadi terukur (akuntabel), termasuk berkaitan dengan efektifitas penggunaan anggaran dalam organisasi.
Target dan Capaian Ekonomi
Saat ini beberapa target pemerintah yang telah ditetapkan di awal tahun meleset dari realisasi yang seharusnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ditargetkan sebesar 5,3% dalam APBN masih jauh dari harapan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal III – 2019 hanya mencapai 5,02% secara tahunan (yoy), melambat dibanding kuartal II 2019 sebesar 5,05% maupun periode yang sama tahun lalu 5,17%. Selain akibat dari ketidakpastian ekonomi global, perlambatan pertumbuhan ekonomi juga terjadi karena sebagian besar lapangan usaha pada kuartal III mengalami perlambatan.
Industri pengolahan pada kuartal III – 2019 yang memiliki kontribusi terbesar tercatat hanya tumbuh sebesar 4,15% secara tahunan, melambat dibanding periode yang sama tahun lalu 4,35%. Sektor perdagangan juga tumbuh melambat dari 5,28% menjadi 4,75%. Demikian pula dengan sektor pertanian yang tumbuh melambat dari 3,66% menjadi 3,08%.
Selain pertumbuhan ekonomi, pencapaian target pajak pun hingga di penghujung tahun juga masih belum tercapai. Hingga akhir Agustus 2019, realisasi penerimaan pajak baru Rp801,16 triliun, separuh dari target APBN tahun ini sebesar Rp1.577,56 triliun.
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Tax Center menilai bahwa target penerimaan pajak yang dipatok oleh pemerintah pada 2019 terlalu berlebihan dan tidak realistis. Target penerimaan pajak tahun ini naik 16 persen dari target tahun 2018 yang tidak tercapai.
Berdasarkan kondisi ekonomi yang sedang terjadi, seharusnya kenaikan target penerimaan pajak hanya 8%, mengingat target pertumbuhan ekonomi berada di angka 5,3%, target laju inflasi 3,5%, dengan tingkat elestisitas 1. Terlebih lagi tax ratio atau rasio penerimaan pajak terhadap PDB Indonesia juga masih tergolong kecil, yakni sebesar 11,5% pada 2018. Angka tax ratio tersebut terlalu rendah jika dibandingkan dengan nilai rata-rata tax revenue to GDP ratio dunia yang berada di level 15,06% (DJP, 2019).
Perbaikan Birokrasi
Salah satu faktor penghambat saat ini yang dihadapi oleh organisasi publik secara umum adalah birokrasi pemerintah. Hasil penelitian Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats) menyebutkan bahwa birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik dibanding keadaan China, Vietnam dan India.
Birokrasi di kebanyakan negara berkembang yang di dalamnya termasuk Indonesia, cenderung bersifat patrimonialistik yakni tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), hingga tidak objektif.
Struktur organisasi (eselonisasi) yang terlalu gemuk, sistem rekrutmen yang tidak objektif, maraknya praktik KKN (korupsi kolusi dan nepotisme), integritas aparatur yang masih bermasalah, pelayanan publik yang tidak berkualitas dan tidak transparan, kurang inovatif serta sistem dan budaya kerja yang belum terbangun menjadi potret masalah birokrasi di Indonesia.
Kualitas dan kuantitas personel merupakan kunci untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas suatu institusi atau organisasi, termasuk dalam birokrasi. Sayangnya, kualitas SDM birokrat masih tergolong rendah.
Rendahnya kualitas SDM aparatur tak lain disebabkan oleh minimnya keahlian yang dimiliki. Tak sedikit aparatur atau SDM birokrasi yang tidak memiliki kompetensi mumpuni dapat menjadi pegawai birokrasi karena berbagai praktik nepotisme.
Rendahnya mutu aparatur atau SDM birokrasi bisa dilihat dari beberapa indikator seperti kemampuan pelayanan yang tidak optimal, sebagian besar waktu tidak digunakan secara produktif, dan belum optimalnya peran-peran dalam menemukan terobosan menjalankan tugas sebagaimana diamatkan.
Badan Kepegawaian Nasional (BKN) menyebutkan bahwa berdasarkan penilaian yang dilakukan secara acak kepada 696 pejabat pimpinan tinggi (JPT) pratama dan 2.670 administrator, menunjukkan bahwa PNS tidak mampu bekerja secara tim, minim inovasi, hingga minim motivasi. Ironisnya, kondisi tersebut tidak jauh berbeda dari satu daerah dibanding daerah lainnya.
Selain kualitas SDM, buruknya kualitas kinerja birokrasi juga dipengaruhi oleh sistem pembayaran/penggajian. Hingga kini, sistem penggajian dalam birokrasi masih menggunakan sistem tradisional dengan gaji yang seragam untuk pekerjaan di kelas yang sama, lalu kenaikan gaji sebagian besar didasarkan pada senioritas.
Padahal, berdasarkan Reinforcement Theory, terdapat hubungan langsung antara kinerja dan gaji atau kompensasi. Hal ini menunjukkan bahwa kompensasi atau gaji dapat digunakan untuk mendorong kinerja birokrasi yang lebih baik.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN adalah UU yang merupakan inisiatif DPR bersama pemerintah yang menjadi jangkar penerapan sistem merit di internal birokrasi. Penerapan secara penuh dari sistem merit ini juga dimaksudkan untuk menghilangkan mekanisme “urut kacang”, dan virus jual beli jabatan yang marak terjadi sebagai akibat dari masih tingginya mentalitas feodal di dalam birokrasi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pelantikan periode-2 kemarin menyindir masalah hambatan birokrasi ini dengan mengusulkan penghilangan eselon III dan IV. Presiden yakin bahwa pemangkasan eselonisasi mampu menyederhanakan proses pengambilan keputusan sehingga birokrasi menjadi lebih efisien. Berbagai rancangan perubahan sebagai wujud komitmen tinggi pemerintah perlu secepatnya diwujudkan dalam pelaksanaan anggaran tahun 2020.
Tentu perubahan yang dilakukan merupakan bagian kewajaran yang harus dihadapi, mengingat perubahan lingkungan itu sudah terjadi dan kita sudah hidup didalamnya. Penentuan target yang realistis diiringi dengan strategi dan inovasi yang jitu diyakini dapat membawa perubahan yang signifikan bagi kemajuan tanah air.
Bukan tidak mungkin, visi reformasi birokrasi untuk mewujudkan pemerintahan kelas dunia perlahan akan tercapai. Optimisme tersebut nampaknya memang harus dijaga seiring dengan upaya perbaikan secara simultan demi terwujudnya good and clean government.
Candra Fajri Ananda Guru Besar dan Dosen FEB Universitas Brawijaya