BULAN Ramadhan telah datang kembali menghiasi kehidupan di bumi pertiwi. Setelah 1 tahun yang sangat melelahkan dengan dinamika politik dan ekonomi di dalam maupun luar negeri yang tak kunjung henti, kita tentu berharap momentum Ramadhan menjadi angin penyejuk bagi pembangunan Indonesia.
Perekonomian kita saat ini masih dilingkupi lingkungan perekonomian global yang cenderung lemah dan uncertainty. Perekonomian Amerika Serikat (AS) bersama beberapa negara emerging market memang sudah tampak mulai membaik, tetapi belum pada titik ideal sebagaimana kinerja terbaik yang mereka harapkan.
Begitu pun dengan China selaku negara mitra utama kita baik dari sisi ekspor maupun impor. Dampak perekonomian dunia yang rehabilitasinya belum meyakinkan (rebound) membuat ekspor Indonesia turut mengalami gangguan yang sangat signifikan.
Fakta seretnya laju ekspor Indonesia tersaji dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai perkembangan ekspor-impor Indonesia edisi Maret 2019. Nilai ekspor Maret 2019 menurun bila dibandingkan dengan kinerja 2018 (yoy) baik secara parsial maupun agregat (Januari–Maret).
Nilai ekspor Maret 2019 tercatat mencapai USD14,03 miliar dan terhitung menurun 10,01% bila dibandingkan dengan Maret 2018. Adapun jika dihitung secara agregat selama Januari–Maret 2019, ekspor kita menghasilkan pendapatan sebesar USD40,51 miliar dan terhitung menurun 8,5% bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018.
Nilai ekspor kita pada 4 negara tujuan utama semuanya mengalami penurunan yang cukup tajam, mulai dari China (-17,38%), Jepang (-16,58%), Amerika Serikat (-5,8%) hingga India (-6,13%). Kondisinya cukup gamblang untuk menunjukkan adanya gejala penurunan permintaan ekspor.
Tentu situasi ini tidak cukup menenangkan karena ekspor sangat diandalkan untuk menjaga agar kurs rupiah, transaksi berjalan (current account), dan produktivitas domestik tetap terjaga tinggi. Apalagi kita juga tengah menghadapi sentimen negatif atas ekspor hasil sawit (CPO), terutama dari Eropa.
Pelemahan tidak hanya terjadi pada ekspor, nilai impor kita pun tengah menghadapi situasi yang sama. Nilai impor Maret 2019 kemarin tercatat mengalami defisit 6,76% bila dibandingkan dengan Maret 2018, adapun secara kumulatif selama Januari–Maret angka defisitnya bahkan lebih tinggi lagi mencapai 7,4% (yoy).
Selama industri substitusi impor belum banyak digalakkan, penurunan nilai impor juga akan menjadi kabar yang kurang mengenakkan karena hal tersebut sedikit banyak menggambarkan penurunan produktivitas industri dalam negeri. Apalagi sebagian besar industri kita (sekitar 60-70%) masih menggantungkan ketersediaan bahan baku dan barang penolong yang distribusinya berasal dari luar negeri.
Kondisi politik di dalam negeri tampaknya juga belum akan mereda tensi ketegangannya. Hiruk-pikuk pemilihan presiden-wakil presiden yang dilakukan secara serentak bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif tampaknya cukup “sukses” mengganggu stabilitas domestik.Alhasil kinerja investasi kemungkinan dalam jangka pendek cukup sulit untuk memenuhi target ideal. Para investor akan lebih banyak wait and see karena menanti siapa yang akan terpilih.
Memaknai Ramadhan
Kendati dinamika perekonomian dan politik dalam negeri masih akan pasang-surut, datangnya Ramadhan tetap akan memiliki makna tersendiri, terutama bagi para penganutnya. Dinamika yang disebabkan perilaku masyarakat selama Ramadhan juga tidak bisa kita biarkan berlalu begitu saja karena bisa akan menimbulkan banyak kemungkinan.
Berdasarkan pengalaman di tahun-tahun sebelumnya, momentum Ramadhan beserta perayaan Idul Fitri memiliki peran perubahan yang sangat kuat pada perekonomian Indonesia, terutama dalam menggenjot daya konsumsi dan produksi pada saat perayaan tersebut berlangsung. Untuk tahun ini bisa dipastikan peran konsumsi masyarakat tetap akan meningkat meskipun perekonomian kita belum cukup stabil.
Pada 2018 yang lalu tingkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan II mencapai 5,16% dan menjadi level tertinggi bila dibandingkan dengan triwulan lain. Peningkatan konsumsi rumah tangga tentu akan menggenjot laju perekonomian Indonesia karena pada 2018 kemarin sekitar 55,74% struktur ekonomi kita ditopang sektor konsumsi rumah tangga.
Dalam periode yang kebetulan berbarengan dengan momentum Ramadhan dan Idul Fitri itu pula level pertumbuhan ekonomi secara agregat juga menjadi yang paling tinggi bila dibandingkan dengan triwulan lainnya dengan capaian 5,27%. Hal ini turut menunjukkan bahwa Ramadhan dan Idul Fitri bisa menjadi “penyelamat” wajah perekonomian kita.
Oleh karena itu kita patut menyambutnya dengan tangan terbuka dan penuh sukacita. Akan tetapi momentum ini juga menuntut persiapan yang cukup matang agar cerita-cerita positif sebelumnya dapat kita raih kembali.
Jika merujuk pada riset yang dilakukan Nielsen di 2018 kemarin, ada 3 pola perubahan konsumsi yang menjangkiti masyarakat selama Ramadhan. Pertama, konsumsi media mengalami peningkatan signifikan mulai dari televisi, radio, internet hingga bioskop.
Jumlah penonton televisi meningkat dari rata-rata 5,9 juta menjadi 7 juta per hari, terutama di waktu sahur. Jumlah konsumen radio juga meningkat 13%, internet meningkat 9%, dan bioskop meningkat 17%.
Kedua, sebagai imbas atas kenaikan jumlah konsumen media, aktivitas penayangan iklan juga ikut terdongkrak, terutama di media televisi dan radio. Peningkatan penayangan iklan terbesar berasal dari iklan belanja online yang menghabiskan Rp223 miliar hanya minggu pertama Ramadhan saja.
Nilai tersebut meningkat 76% bila dibandingkan dengan masa-masa sebelum Ramadhan. Kategori lain yang mengalami peningkatan adalah iklan jus dan sirup dengan total pengeluaran Rp101 miliar (meningkat 447), minuman siap minum dengan pengeluaran Rp70 miliar (110%), material bangunan dengan total belanja iklan Rp66 miliar (114%), dan lain-lain. Mayoritas produk yang mengalami kenaikan penayangan iklan adalah komoditas yang memang berkaitan dengan kebutuhan konsumen selama Ramadhan-Idul Fitri.
Ketiga, pola konsumsi masyarakat cenderung meningkat karena dampak adanya dana tunjangan hari raya (THR) dan masyarakat yang memang “royal” pada saat Ramadhan. Jumlah kepemilikan smart phone meningkat 7% dan rencana untuk membeli smart phone mengalami peningkatan 4 kali lipat.
Jumlah kepemilikan mobil juga meningkat 21% dan rencana untuk membeli mobil juga meningkat 3,5 kali lipat. Adapun perilaku belanja online tidak kalah meningkat, terutama pada produk makanan minuman, penyegar mulut, perabot rumah tangga, dan pakaian.
Sebagai tindakan penyeimbangnya, pemerintah perlu bekerja keras agar situasi yang ada tetap kondusif. Daya beli masyarakat perlu tetap dijaga stabilitasnya dengan menciptakan lapangan kerja yang progresif dan jangan sampai muncul PHK yang mendadak.Daya saing investasi juga perlahan-lahan mesti kembali dipikirkan, apalagi Ramadhan bisa dimanfaatkan untuk mengurangi tensi ketegangan akibat kontestasi politik. Selain itu tingkat inflasi juga perlu terus dipantau dan dikendalikan. Sebagaimana lazimnya teori-teori inflasi, pada saat permintaan meningkat biasanya harga barang juga akan meningkat, terutama ketika terjadi ketimpangan supply dan demand. Oleh karena itu pemerintah perlu terus memperhatikan aliran distribusi dan produksi.
Pemerintah sendiri sudah memproyeksi komoditas apa saja yang rentan terhadap lonjakan permintaan pada saat Ramadhan dan Idul Fitri. Biasanya yang harganya cukup sensitif adalah komoditas pangan, BBM, angkutan (transportasi), dan elektronik.
Pertamina sudah mempersiapkan Satgas Rafi (Satuan Tugas Ramadhan dan Idul Fitri) untuk melayani permintaan BBM, terutama di titik-titik utama jalur mudik. Konsumsi BBM khususnya jenis gasoline diproyeksi akan meningkat sebesar 15,78% setelah dibukanya tol trans-Jawa (Merak-Probolinggo) dan trans-Sumatera (Bakauheni–Terbanggi Besar). Angka proyeksi tersebut jelas jauh lebih tinggi daripada realisasi konsumsi BBM pada 2018 yang tercatat hanya 10,12% bila dibandingkan dengan konsumsi pada hari-hari biasa.
Nah, yang mungkin saat ini sangat dinanti adalah bagaimana upaya pemerintah untuk menurunkan ongkos transportasi udara. Beberapa kali kita mengalami inflasi karena mahalnya harga tiket pesawat.
Selain untuk penumpang, dampak mahalnya layanan penerbangan juga akan berimbas pada biaya kargo. Biasanya menjelang Lebaran, masyarakat mulai berkirim kabar dan buah tangan kepada sanak saudara.
Saat ini mereka pasti membayangkan betapa mahalnya biaya yang harus mereka tanggung untuk itu semua. Tentu kita berharap persoalan ini bisa segera diatasi mengingat kebahagiaan selama Ramadhan dan Idul Fitri perlu dirasakan masyarakat yang menjalankan ibadahnya.
Kita semua berharap, Ramadhan kali ini tidak berkurang maknanya hanya karena mekanisme pasar pada perekonomian kita sedang mengalami kontraksi. Selamat berpuasa dan berekonomi.
Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya