SUDAH menjadi tradisi di setiap pekan terakhir Ramadhan, masyarakat akan terpolarisasi pada puncak konsumsi. Sebagian masyarakat mulai bergeser aktivitasnya dari masjid menuju ke pusat-pusat perbelanjaan, mulai pasar tradisional hingga pasar modern.
Fokus masyarakat mulai memudar untuk menikmati hari-hari terakhir Ramadhan demi menyambut perayaan Lebaran lebih awal. Secara teologis kebiasaan ini sangat disayangkan oleh para pemuka agama karena momentum Ramadhan semestinya menjadi puncak ketakwaan.
Namun gelombang budaya masyarakat sudah bergulir sejak lama untuk merayakan Lebaran dengan menampilkan “kulit-kulit” baru, mulai dari pakaian, perabotan rumah tangga, penampilan rumah hingga produk-produk elektronik dan automotif.
Kendati demikian ada juga sisi-sisi positif yang dihasilkan, misalnya terkait daya beli yang meningkat yang diimbangi dengan kenaikan tingkat konsumsi. Tidak sedikit masyarakat yang rela menyisihkan sebagian penghasilan bulanannya demi berbelanja di saat Lebaran yang daya magisnya tidak hanya dilakukan untuk kebutuhan dirinya sendiri, melainkan juga untuk sanak famili dan orang-orang terdekatnya.
Daya beli masyarakat ini kian meningkat dengan adanya tunjangan hari raya (THR) baik dari kantor pemerintahan maupun perusahaan swasta. Bisa kita bayangkan berapa banyak uang yang digelontorkan pemerintah dan perusahaan swasta untuk mengongkosi gaya hidup tersebut.
Dari sudut pandang ekonomi, pengeluaran belanja dan konsumsi tentu saja sangat positif untuk pertumbuhan dan mendorong penerimaan pajak negara. Apalagi konsumsi rumah tangga masih mendominasi sebagai penyokong utama perekonomian kita.
Dalam perkembangan ekonomi di triwulan I/2019, sektor konsumsi rumah tangga mampu menopang 56,82% dari agregat PDB pengeluaran. Peranan yang sangat besar tersebut seyogianya juga perlu diikuti dengan perubahan struktur perekonomian yang lebih baik agar nilai manfaatnya bisa dioptimalkan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang lebih sustainable.
Misalnya kita perlu menata supaya konsumsi yang tinggi tersebut bisa direbut oleh produk-produk domestik sehingga menghasilkan multiplier effects yang sangat tinggi bagi perekonomian domestik. Sebaliknya jika konsumsi pada barang-barang impor, akan terjadi kebocoran ekonomi (leakage). Tentu ini akan mengurangi kemanfaatan tingginya konsumsi tersebut.
Pemerintah perlu membantu agar sektor jasa juga dapat menikmati gemerlap tingginya konsumsi ini seperti aktivitas bepergian (travelling), belanja makanan dan minuman di restoran atau tempat-tempat makan, dan layanan pariwisata, terutama untuk mendorong sektor leisure economy. Saat ini konsumsi rumah tangga Indonesia di triwulan I/2019 mayoritas masih tersedot untuk belanja makanan dan minuman selain restoran.
Kontribusinya mencapai 39,14% dari total konsumsi rumah tangga. Adapun untuk sektor leisure economy mulai dari transportasi dan komunikasi hingga restoran dan hotel kontribusinya masih berada di angka 32,91%. Mengingat potensinya yang sangat besar, diperlukan kebijakan pemerintah untuk mendukung pengembangan sektor leisure economy ini.
Pertama, pemerintah perlu menjaga agar daya beli masyarakat tetap kuat untuk menopang produksi dalam negeri. Alternatif kebijakannya ada dua, yakni dengan memengaruhi agar harga produk terjaga stabil dan/atau meningkatkan penghasilan masyarakat.
Dalam kondisi terkini, sektor pariwisata dan distribusi barang/jasa tengah digugat eksistensinya karena persoalan layanan transportasi yang harganya kian meningkat. Biaya tiket pesawat menurut catatan BPS per April 2019 kemarin meningkat 11% bila dibandingkan dengan April 2018 (yoy).
Kenaikan harga tersebut membuat perusahaan penerbangan kehilangan sejumlah penumpang domestik hingga mencapai 17,66% yang dihitung secara kumulatif mulai Januari hingga Maret 2019. Jumlah penumpang domestik pada Maret 2019 sendiri juga terlihat menurun 21,94% bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Tren ini sungguh sangat mengkhawatirkan jika tidak segera diselesaikan. Kita bisa bayangkan berapa banyak pelaku ekonomi yang terdampak atas perkembangan negatif tersebut, mulai dari agen-agen perjalanan lokal, UMKM yang menopang industri pariwisata hingga objek-objek wisata itu sendiri.
Aktivitas leisure economy itu sendiri sudah sulit dihindarkan karena telah berkembang menjadi gaya hidup sekunder, baik bagi masyarakat kelas menengah ke bawah hingga yang termasuk kaya-raya. Bagi masyarakat milenial dan yang berkemampuan ekonomi tinggi, pilihan melancong ke luar negeri mungkin akan menjadi alternatif terbaik.
Apalagi informasi perbandingan harga penerbangan antarnegara dari Indonesia ke beberapa negara ASEAN lainnya yang lebih murah ketimbang perjalanan antardaerah di Indonesia terus meluas di tengah-tengah masyarakat. Jika persoalan ini tidak segera dituntaskan, imbasnya akan terus melebar ken mana-mana.
Semakin banyaknya jumlah penduduk yang berlibur ke luar negeri tentu ini tidak baik bagi cadangan devisa kita. Push factor untuk situasi ini adalah sektor pariwisata kita daya saingnya juga masih tertahan karena persoalan sarana dan prasarana yang kualitasnya belum cukup kuat dan merata.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tengah mendalami dugaan duopoli yang membuat persaingan industri penerbangan menjadi tidak sehat. Usaha seperti ini sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas pembangunan, jangan sampai ada pihak-pihak yang menari di atas kesusahan masyarakat.
Masyarakat juga nyaris tidak memiliki alternatif yang lebih baik karena biaya transportasi darat dan kereta api memiliki keterbatasan masing-masing. Biaya transportasi darat tengah terganggu dengan tarif tol yang harganya relatif mahal, bahkan beberapa tol beberapa hari ini mengalami kenaikan yang melintasi Cikarang. Adapun layanan kereta api hambatannya berada pada kapasitasnya (daya tampung) yang masih terbatas sehingga dapat disimpulkan koneksitas transportasi antardaerah masih terganggu karena biaya yang belum efisien.
Kedua, pemerintah perlu menjaga agar ketersediaan lapangan pekerjaan tetap memadai dengan besaran tingkat upah yang moderat. Kedua faktor juga sangat berkaitan dengan daya beli. Tugas pemerintah adalah menjaga agar daya saing industri nasional tetap menyala di tengah gempuran impor yang akhir-akhir ini kian luar biasa, yang salah satunya disebabkan gencarnya pasar daring (online).
Selain mengatasi persoalan struktural yang menjurus perbaikan efisiensi usaha, pemerintah juga perlu mengawasi dan mengendalikan jumlah produk-produk impor yang bertebaran. Jangan sampai konsumsi yang menguat ini malah justru mematikan semangat produsen lokal yang tentu juga ingin merasakan kebahagiaan di saat permintaan pasar sedang berada di titik puncak.
Ketiga, pemerintah perlu semakin menggiatkan kegiatan swadesi (bangga dengan produk sendiri). Dalam pengamatan penulis, karakter konsumen kita memang sangat rasional terkait daya saing harga, tetapi hal tersebut semestinya juga perlu diimbangi dengan perhatian mengenai dampak terhadap pembangunan ekonomi negeri. Memang dalam beberapa hal produk luar negeri menawarkan harga dan kualitas yang lebih menjanjikan bagi konsumen ketimbang produksi kita sendiri.
Tapi masyarakat juga perlu disadarkan kalau produsen lokal tidak kita dukung, mereka akan semakin kehabisan napas untuk mengembangkan usahanya sehingga sebagai negara yang hingga saat ini hidupnya sangat bergantung pada konsumsi. Ada baiknya jika kampanye pembangunan ditata secara sistematis dan masif agar demokrasi ekonomi dapat berjalan dengan baik, yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Candra Fajri Ananda Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya