Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
Gerbang penghujung tahun 2022 telah di depan mata. Beragam indikator dan momentum mengiringi optimisme pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2023.
Meski demikian, sejumlah tantangan harus diwaspadai karena berpotensi menghambat pertumbuhan, seperti konflik geopolitik, krisis energi dan pangan yang menyebabkan melemahnya permintaan dari negara pasar produk Indonesia. Pemerintah dan Bank Indonesia masih yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 masih tetap kuat di kisaran 4,5-5,3%.
Keyakinan ini didasarkan pada pertumbuhan ekonomi domestik di kuartal III/2022 yang masih tetap terjaga di angka 5,72%. Tren pertumbuhan ekonomi tahunan berhasil menguat persisten selama empat kuartal berturut-turut, konsisten berada di atas 5% secara tahunan. Hal ini tentu mendorong keyakinan bahwa memasuki tahun 2023 dengan optimistis walau tetap jaga kewaspadaan.
Daya beli masyarakat adalah kunci utama untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, menjaga inflasi tetap terkontrol sesuai target demi menjaga daya beli masyarakat mutlak diperlukan.
Baru-baru ini, data BPS menunjukkan bahwa angka inflasi November 2022 melandai dari tingkat inflasi bulan sebelumnya. Secara tahunan, inflasi November 2022 tercatat sebesar 5,42% (yoy), menurun dibanding inflasi bulan Oktober 2022 sebesar 5,71% (yoy).
Penurunan ini ditopang inflasivolatile foodyang menurun karenausaha ekstra pengendalian inflasi seluruh pihak di tengah inflasiadministered pricesyang masih tinggi. Sementara secara bulanan, pada November tercatat mengalami inflasi sebesar 0,09% (mtm).
Secara umum artinya, capaian inflasi Indonesia masih tetap terkendali di tengah tren inflasi tinggi yang masih terjadi di berbagai negara, seperti Uni Eropa. Di kawasan itu inflasinya tercatat 10% (yoy) pada November 2022. Selain itu, India dan Amerika Serikat yang realisasi inflasinya juga masing-masing sebesar 6,77% dan 7,7% (yoy).
Pada kondisi ini, memperkuat tingkat daya beli masyarakat adalah kunci utama bagi pemerintah untuk bisa menjaga ekonomi Indonesia dari badai ekonomi dunia. Hal ini tak lain karena konsumsi rumah tangga masih menjadi penopangpertumbuhan ekonomiterbesar di Indonesia, bahkan di kuartal III/2022 dari sisi pengeluaran.
BPS mencatat bahwa konsumsi rumah tangga berkontribusi hingga 50,38% terhadap PDB pada kuartal tersebut. Dorongan konsumsi rumah tangga tercermin dari peningkatan mobilitas yakni meningkatnya aktivitas belanja pada kelompok masyarakat menengah-atas khususnya untuk kebutuhan tersier.
Di sisi lain, menjaga nilai ekspor Indonesia juga penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, meski tak mudah. Data kuartal III/2022 menunjukkan bahwa ekspor dan impor masih mampu mencatatkan surplus secara berkesinambungan. Pada periode ini, pertumbuhan ekonomi didukung ekspor barang dan jasa yang naik 21,64% secara tahunan (yoy) dengan kontribusi mencapai 26,23%, meningkat dari kontribusi pada kuartal II/2022 dengan persentase sebesar 24,74%.
Artinya, ekspor tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.Windfallekspor masih berlanjut namun cenderung melemah akibat harga beberapa komoditas global yang lebih kompetitif serta kurs transaksi beli rupiah terhadap dollar AS yang melemah (terdepresiasi). Alhasil, pertumbuhan impor secara persentase berhasil melampaui pertumbuhan ekspor, sehingga ke depannya perlu diwaspadai di tengah terus menguatnya dollar AS.
Meski cukup berat, menjaga neraca perdagangan untuk tetap surplus di tengah ancaman perlambatan ekonomi perlu terus diupayakan. Hingga saat ini, China masih menempati posisi pertama sebagai negara mitra dagang Indonesia dengan nilai ekspor USD17,34 miliar pada kuartal III/2022.
Oleh sebab itu, dalam memitigasi risiko perlambatan tersebut, pemerintah perlu melakukan sejumlah langkah strategis di antaranya dengan meningkatkan akses pasar ekspor ke pasar nontradisional, khususnya di kawasan Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah baik melalui promosi, misi dagang, maupun perjanjian kerja sama.
Sinergi, Kebersamaan, dan Kolaborasi
Selain optimisme, yang juga perlu dijaga adalah aspek kewaspadaan. Apalagi jika dilihat tugas berat karena banyaknya faktor negatif yang membayangi perekonomian di tahun depan, terutama tantangan inflasi.
Merespons ini, BI telah menaikkan suku bunga demi menjangkar ekspektasi inflasi, menjaga nilai tukar rupiah, dan mengantisipasi kebijakan agresif bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed). BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 175 basis points (bps) hanya dalam kurun waktu empat bulan terakhir menjadi 5,25%. BI mengerek suku bunga sebesar 25 bps pada Agustus dan menaikkan masing-masing sebesar 50 bps pada September-November.
Akan tetapi, kebijakan moneter ketat BI bukannya tanpa risiko. Kenaikan suku bunga acuan yang sangat agresif bisa berdampak kepada pertumbuhan ekonomi, permintaan kredit, hingga perlambatan konsumsi. Meski demikian, berdasarkan laporan Uang Beredar November 2022, pertumbuhan kredit masih meningkat menjadi 11,7% (yoy) pada Oktober dari 10,8% pada September 2022.
Kenaikan suku bunga sebesar 50 bps adalah hal yang tepat dan seharusnya tidak dihentikan dalam waktu dekat mengingat Bank sentral negara maju seperti Swiss, Eropa, Amerika Serikat (AS), hingga negara Asia seperti Korea Selatan telah mulai mengerek suku bunga sebelum pertengahan tahun. Pun The Fed telah mulai mengerek suku bunga acuan sejak Maret 2022. Sepanjang tahun ini, The Fed bahkan telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 375 bps menjadi 3,75-4,0%.
Kolaborasi sinergi yang solid antara kebijakan moneter dan fiskal menjadi kunci untuk mengatasi ancaman inflasi dan perlambatan ekonomi, ditengah ketidakpastian ekonomi global. Pengendalian inflasi yang tidak cukup dengan menaikkan suku bunga oleh Bank Indonesia saja, melainkan juga dengan mengintervensi dari sisi fiskal.
Pemerintah perlu memberikan stimulus fiskal untuk melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat memberikan bantalan sosial (bansos). Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 500/4825/SJ tentang Penggunaan Belanja Tidak Terduga Dalam Rangka Pengendalian Inflasi Daerah untuk menjaga keterjangkauan harga dan daya beli masyarakat.
Selain itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan belanja wajib perlindungan sosial sebesar 2% dari Dana Transfer Umum yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022 yang ditetapkan tanggal 5 September 2022, di mana total alokasi dana mencapai Rp2,17 triliun.
Sinergi, kebersamaan dan kolaborasi sangat diperlukan untuk keluar dari jerat inflasi dan stagflasi. Selain kerjasama antara fiskal dan moneter, faktanya kerjasama antarpemerintah – pusat dan daerah – pun mutlak diperlukan dalam menjaga pasokan dan kelancaran distribusi barang dan jasa. Melalui berbagai regulasi fiskal yang telah digulirkan diharapkan dapat mendorong daerah untuk mampu menjaga keterjangkauan harga, daya beli masyarakat, kelancaran distribusi dan transportasi sehingga masyarakat yang rentan terhadap dampak inflasi di masing-masing daerah dapat terjaga. Semoga.
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Senin, 05 Desember 2022